Hasil pertanian dikhawatirkan akan sering mengecewakan, gletser di Kutub Utara semakin banyak yang mencair, suhu bumi makin panas, bencana alam akan sering terjadi, dan dicemaskan pula beberapa jenis hewan akan punah. Sekelumit kegelisahan ini adalah definisi pendek dari global warming.
Sebenarnya, sejak tahun 2000-an, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di Jakarta telah banyak bersuara tentang pemanasan global (global warming). Sangat disayangkan, tulisan-tulisan tentang hal itu hanya mereka publikasikan dalam majalah internal instansi mereka. Inspirasi ini kurang meluas ke publik.
Di penghujung 2007 lalu, berbondong-bondong para ilmuwan dan pejabat penting dari berbagai penjuru dunia datang ke Bali menggodog kegelisahan mereka tentang hal yang sama. Berbagai LSM lingkungan, menyuarakan kegelisahan mereka. Berbagai media massa juga datang meliput. Catatan peristiwanya dalam beberapa hari menjadi headline di koran-koran.
Apakah kegelisahan ini menular luas kepada kita? Untuk jawaban khusus dari Indonesia, mungkin masyarakat kita masih terlalu repot dengan masalah penanggulangan banjir, tanah longsor, busung lapar, dan buta huruf. Prioritas tentang global warming bisa jadi urutan paling bawah dari sekian banyak kerumitan kehidupan sehari-hari.
Padahal, ilmuwan-ilmuwan ini bicara banyak sebagai wakil dari suara kegelisahan negaranya masing-masing. KTT Iklim yang berlangsung selama dua minggu di Bali pada awal Desember 2007 lalu, diikuti oleh delegasi hampir dari 190 negara di dunia. Tujuan utama sesungguhnya adalah membujuk Amerika Serikat untuk menyetujui pengurangan emisi karbon dioksida dan efek-efek rumah kaca lainnya.
Walaupun delegasi Amerika Serikat menyatakan tidak ada halangan untuk menandatangai perjanjian emisi, Washington tetap menolak untuk mendukung upaya banyak negara lain, seperti pengurangan emisi oleh negara-negara kaya dan berusaha membatasi peningkatan temperatur global.
Posisi Amerika Serikat agak terpojok ketika Perdana Menteri Australia yang baru, menandatangi ratifikasi pakta iklim Kyoto Protocol. Langkah ini membuat Amerika Serikat, pemasok utama efek-efek rumah kaca dan emisi gas menjadi satu-satunya negara yang tidak mau meratifikasi pakta iklim tersebut.
Pemimpin KTT Iklim mendesak para delegasi untuk segera memerangi perubahan iklim global. "The eyes of the world are upon you. There is a huge responsibility for Bali to deliver," kata Yvo de Boer, Sekjen KTT Iklim.
KTT Iklim di Bali jadi global momentum untuk menarik action yang dramatis untuk menghentikan perubahan temperatur dunia (global warming) yang dikatakan para ilmuwan dapat berdampak tenggelamnya pantai dan pulau-pulau oleh samudra, melenyapkan spesies-spesies, menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan memicu bencana alam.
KTT iklim Bali adalah KTT pertama sejak mantan wapres Amerika Serikat Al Gore dan dewan ilmiah PBB memenangkan hadiah Nobel di bulan Oktober 2007 lalu untuk jasa-jasa mereka terhadap lingkungan hidup.
Tujuan jangka pendek adalah negosiasi menuju sebuah pakta baru untuk menggantikan Kyoto Protocol yang akan habis masa berlakunya pada tahun 2012, merencanakan agenda dan batas waktu untuk pembicaraan lebih lanjut. PBB mengharapkan protokol baru segera dibicarakan sebelum tahun 2009 agar dapat menggantikan protokol Kyoto pada waktunya.
Kilas Balik Protokol Kyoto
Kerjasama internasional diperlukan untuk menyukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menerjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 % di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 % di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 %; dan Jepang 6 %. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Menginjak tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal komitmennya dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 % dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada tahun 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan dan metode serta sanksi yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negosiator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain.
Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda. Negara ini dapat membeli kredit polusi di pasar yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 % di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
Monday, February 26th 2008.
Category: Headline News
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com
Kamis, 31 Juli 2008
Hari Berkebaya Nasional
Indonesia punya pahlawan nasional perempuan yang sangat populer. Tak ada yang tak kenal Raden Ajeng Kartini. Hari lahirnya tanggal 21 April, kerap diperingati di negeri ini dengan pawai busana kebaya dan kain batik, lengkap dengan sanggulnya. Pemandangannya memang jadi sangat menarik. Lha,…ini Hari Kartini atau Hari Kebaya, ya? Itu pertanyaan saya ketika 21 tahun yang lalu harus ikut lomba berbusana kebaya Hari Kartini di sekolah dasar di wilayah timur Kalimantan.
Bahkan minggu lalu, di daerah Solo ada sebuah kegiatan senam aerobic yang digelar dini hari. Peserta senamnya juga mengenakan kebaya lengkap dengan kain batik, minus sanggul dan riasannya. Filosofi kebaya sebagai busana perempuan Indonesia malah jadi bias. Jangan-jangan nanti malah ada lomba lari (sprint) di Hari Kartini dan pesertanya harus pakai baju kebaya. Lucu, tapi malah jadi dagelan.
Begitu lekatnya image Kartini dengan Kebaya. Identitas perempuan Indonesia secara fisik seperti digambarkan pada setiap peringatan Hari Kartini. Mereka dipaparkan sebagai yang anggun, lembut, berkebaya, berkonde, dan berjalan sangat pelan (tak bisa berjalan dengan langkah yang lebar karena lebar kain yang menjaga tiap langkah menjadi sangat pendek). Wow!!! Orang-orang bule pasti sangat tertarik dengan pemandangan seperti itu karena di negaranya tak ada perempuan berkonde, berkebaya, dan berjalan sangat pelan. Kalau pun ada, mungkin sedang menuntun kakek atau neneknya jalan-jalan pagi.
Kebiasaan memperingati Hari Kartini dengan berkebaya kemana-mana, jadi pemandangan khas. Perempuan-perempuan justru tampil lebih cantik daripada hari-hari biasanya. Hari berkebaya nasional ini juga bikin orang-orang repot pergi ke salon terbaik untuk menata riasan berkebayanya. Rampung urusan penampilan, mereka juga mendokumentasikan momen tak biasa ini. Potret sana, potret sini.
Ngomong-ngomong tentang potret, saya jadi teringat peristiwa ketika bertemu dengan pemimpin umum sebuah majalah perempuan yang terkenal di negeri ini. Dia, pria yang sudah tak muda lagi. Usianya bahkan sudah mencapai 70 tahun. Ketika saya tanya, apa rahasianya agar majalahnya bisa bertahan puluhan tahun tanpa pernah dicekal dan tanpa pernah berhenti naik cetak, ia menjawab dengan menunjuk ke arah belakang punggung saya.
“Coba lihat dibelakangmu,” katanya. Di belakang tempat saya duduk, ada sebuah potret yang cukup besar, berpigura kayu. Potret perempuan berwajah ayu, berkebaya lengkap dengan sanggulnya. Itu potret RA. Kartini.
“Kami ingin memberikan yang terbaik untuk perempuan Indonesia seperti yang pernah RA. Kartini berikan waktu dulu,” ucapnya. Maksudnya, tentu saja tak sama dengan semangat dan mimpi RA. Kartini tempo dulu (walaupun nama majalahnya sama dengan nama pahlawan nasional ini). Intinya, mereka akan memberikan harga yang paling cocok per eksemplarnya, dengan isi yang juga cocok dengan kegemaran perempuan Indonesia. Misalnya, kisah-kisah sejati para perempuan yang berjuang melawan penyakit mematikan, perjuangan perempuan dalam menghadapi saat-saat genting dalam rumah tangga, perjuangan perempuan di dapur alias mencoba resep-resep masakan menarik di dalam majalahnya.
Ucapannya itu, membuat pikiran saya seperti melompat ke jaman RA. Kartini ketika mendirikan sekolah perempuan di daerahnya pada tahun 1903 di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka di Kabupaten Rembang. Perempuan rakyat jelata bersekolah, bisa membaca dan menulis? Hal ini masih dianggap tidak mungkin. Sampai pada akhirnya, sekolah itu benar-benar ada. Sampai pada akhirnya, Kartini benar-benar mengajarkan semua murid perempuannya di sana. Sayangnya, kegiatan ini tak berlangsung lama. Kartini keburu dipaksa menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya. Bagaimana nasib sekolah itu? Tak ada perempuan di sana yang meneruskan. Impian Kartini, cuma wujud sebentar. Mimpinya sebagai perempuan sejati, juga terpaksa hilang. Ia meninggal dunia tahun 1904 (pada usia25 tahun) setelah melahirkan anak pertamanya. Kartini bahkan tak sempat mengalami masa indahnya sebagai ibu bagi keluarganya sendiri.
Kala itu, Indonesia tentu saja belum mengenal program Ayah Siaga yang setiap bulan harus rutin mengantar istrinya yang sedang hamil untuk periksa kesehatan kehamilannya ke pusat kesehatan masyarakat. Jauh! Nyawa RA Kartini tak bisa diselamatkan karena ia mengalami pendarahan ketika melahirkan. Yang Kartini pikirkan waktu itu baru satu hal: pendidikan bagi kaum perempuan.
Belum sampai pada masalah kesehatan. Untuk masalah pendidikan bagi kaum perempuan, nun di wilayah Jawa Barat sana ada seorang perempuan yang telah mewujudkannya lebih dulu daripada RA Kartini. Dia adalah Dewi Sartika. Fakta sejarah mencatat bahwa perempuan kelahiran Bandung, 4 Desember 1884 itu adalah perintis pendidikan untuk kaum perempuan yang pertama di Indonesia.
Menurut catatan sejarah, tahun 1894 wilayah Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu. Belakangan, diketahui bahwa yang membuat anak-anak pembantu kepatihan itu menjadi pandai membaca dan menulis adalah Dewi Sartika. Ketika itu, usianya baru menginjak 10 tahun.
Anak keturunan bangsawan tanah Sunda ini kerap bermain di belakang gedung kepatihan. Sambil bermain, ia memperagakan praktik mengajar yang ia lihat dari gurunya. Dewi Sartika pun mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Pada tahun 1909, sekolah ini telah meluluskan angkatan pertamanya. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal pada saat itu.
Dalam perkembangannya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan Sakola Istri-Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota dan kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh Sakola Istri tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Entah kenapa, sejarahnya sebagai perintis pendidikan bagi kaum perempuan memang kalah populer dibanding dengan RA Kartini. Padahal RA Kartini cuma dikenal lewat arsip-sarsip surat menyuratnya dengan sahabatnya (Estelle Zeehandelaar) di negeri kincir angin itu.
Bukan karena gerakan pendidikannya yang hanya sebentar, melainkan karena terungkapnya pikiran-pikiran RA. Kartini dalam memandang dirinya dan hidupnya.Saya tak mengenal RA Kartini dan Dewi Sartika dengan baik. Mereka hanya saya kenal dari catatan-catatan sejarah di negeri ini. Tokoh perempuan yang pertama kali saya kenal di dunia ini adalah ibu saya sendiri. Dia juga tokoh pendidik terbaik bagi keluarga kami. Ibuku adalah guruku yang pertama. Kata-kata pertama yang dia ajarkan pada saya adalah nama panggilannya.
Ibu adalah orang pertama yang dari dalam rahimnya ia memberi kehidupan bagi kami, anak-anaknya. Perjuangannya sebagai ibu rumah tangga memang tidak akan pernah tercatat di buku sejarah manapun. Dari banyak tokoh-tokoh sejarah kaum perempuan, yang saya kenal dengan baik hanya ibu saya. Karena kasih sayang dan doa-doanya di sepanjang jalan hidup saya. Maka bagi saya, ucapan Selamat memperingati Hari Kartini diperuntukkan kepada semua perempuan Indonesia (yang berkebaya dan yang tidak berkebaya).
Wednesday, April 21st 2008.
Category: Features
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com
Bahkan minggu lalu, di daerah Solo ada sebuah kegiatan senam aerobic yang digelar dini hari. Peserta senamnya juga mengenakan kebaya lengkap dengan kain batik, minus sanggul dan riasannya. Filosofi kebaya sebagai busana perempuan Indonesia malah jadi bias. Jangan-jangan nanti malah ada lomba lari (sprint) di Hari Kartini dan pesertanya harus pakai baju kebaya. Lucu, tapi malah jadi dagelan.
Begitu lekatnya image Kartini dengan Kebaya. Identitas perempuan Indonesia secara fisik seperti digambarkan pada setiap peringatan Hari Kartini. Mereka dipaparkan sebagai yang anggun, lembut, berkebaya, berkonde, dan berjalan sangat pelan (tak bisa berjalan dengan langkah yang lebar karena lebar kain yang menjaga tiap langkah menjadi sangat pendek). Wow!!! Orang-orang bule pasti sangat tertarik dengan pemandangan seperti itu karena di negaranya tak ada perempuan berkonde, berkebaya, dan berjalan sangat pelan. Kalau pun ada, mungkin sedang menuntun kakek atau neneknya jalan-jalan pagi.
Kebiasaan memperingati Hari Kartini dengan berkebaya kemana-mana, jadi pemandangan khas. Perempuan-perempuan justru tampil lebih cantik daripada hari-hari biasanya. Hari berkebaya nasional ini juga bikin orang-orang repot pergi ke salon terbaik untuk menata riasan berkebayanya. Rampung urusan penampilan, mereka juga mendokumentasikan momen tak biasa ini. Potret sana, potret sini.
Ngomong-ngomong tentang potret, saya jadi teringat peristiwa ketika bertemu dengan pemimpin umum sebuah majalah perempuan yang terkenal di negeri ini. Dia, pria yang sudah tak muda lagi. Usianya bahkan sudah mencapai 70 tahun. Ketika saya tanya, apa rahasianya agar majalahnya bisa bertahan puluhan tahun tanpa pernah dicekal dan tanpa pernah berhenti naik cetak, ia menjawab dengan menunjuk ke arah belakang punggung saya.
“Coba lihat dibelakangmu,” katanya. Di belakang tempat saya duduk, ada sebuah potret yang cukup besar, berpigura kayu. Potret perempuan berwajah ayu, berkebaya lengkap dengan sanggulnya. Itu potret RA. Kartini.
“Kami ingin memberikan yang terbaik untuk perempuan Indonesia seperti yang pernah RA. Kartini berikan waktu dulu,” ucapnya. Maksudnya, tentu saja tak sama dengan semangat dan mimpi RA. Kartini tempo dulu (walaupun nama majalahnya sama dengan nama pahlawan nasional ini). Intinya, mereka akan memberikan harga yang paling cocok per eksemplarnya, dengan isi yang juga cocok dengan kegemaran perempuan Indonesia. Misalnya, kisah-kisah sejati para perempuan yang berjuang melawan penyakit mematikan, perjuangan perempuan dalam menghadapi saat-saat genting dalam rumah tangga, perjuangan perempuan di dapur alias mencoba resep-resep masakan menarik di dalam majalahnya.
Ucapannya itu, membuat pikiran saya seperti melompat ke jaman RA. Kartini ketika mendirikan sekolah perempuan di daerahnya pada tahun 1903 di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka di Kabupaten Rembang. Perempuan rakyat jelata bersekolah, bisa membaca dan menulis? Hal ini masih dianggap tidak mungkin. Sampai pada akhirnya, sekolah itu benar-benar ada. Sampai pada akhirnya, Kartini benar-benar mengajarkan semua murid perempuannya di sana. Sayangnya, kegiatan ini tak berlangsung lama. Kartini keburu dipaksa menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya. Bagaimana nasib sekolah itu? Tak ada perempuan di sana yang meneruskan. Impian Kartini, cuma wujud sebentar. Mimpinya sebagai perempuan sejati, juga terpaksa hilang. Ia meninggal dunia tahun 1904 (pada usia25 tahun) setelah melahirkan anak pertamanya. Kartini bahkan tak sempat mengalami masa indahnya sebagai ibu bagi keluarganya sendiri.
Kala itu, Indonesia tentu saja belum mengenal program Ayah Siaga yang setiap bulan harus rutin mengantar istrinya yang sedang hamil untuk periksa kesehatan kehamilannya ke pusat kesehatan masyarakat. Jauh! Nyawa RA Kartini tak bisa diselamatkan karena ia mengalami pendarahan ketika melahirkan. Yang Kartini pikirkan waktu itu baru satu hal: pendidikan bagi kaum perempuan.
Belum sampai pada masalah kesehatan. Untuk masalah pendidikan bagi kaum perempuan, nun di wilayah Jawa Barat sana ada seorang perempuan yang telah mewujudkannya lebih dulu daripada RA Kartini. Dia adalah Dewi Sartika. Fakta sejarah mencatat bahwa perempuan kelahiran Bandung, 4 Desember 1884 itu adalah perintis pendidikan untuk kaum perempuan yang pertama di Indonesia.
Menurut catatan sejarah, tahun 1894 wilayah Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu. Belakangan, diketahui bahwa yang membuat anak-anak pembantu kepatihan itu menjadi pandai membaca dan menulis adalah Dewi Sartika. Ketika itu, usianya baru menginjak 10 tahun.
Anak keturunan bangsawan tanah Sunda ini kerap bermain di belakang gedung kepatihan. Sambil bermain, ia memperagakan praktik mengajar yang ia lihat dari gurunya. Dewi Sartika pun mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Pada tahun 1909, sekolah ini telah meluluskan angkatan pertamanya. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal pada saat itu.
Dalam perkembangannya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan Sakola Istri-Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota dan kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh Sakola Istri tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Entah kenapa, sejarahnya sebagai perintis pendidikan bagi kaum perempuan memang kalah populer dibanding dengan RA Kartini. Padahal RA Kartini cuma dikenal lewat arsip-sarsip surat menyuratnya dengan sahabatnya (Estelle Zeehandelaar) di negeri kincir angin itu.
Bukan karena gerakan pendidikannya yang hanya sebentar, melainkan karena terungkapnya pikiran-pikiran RA. Kartini dalam memandang dirinya dan hidupnya.Saya tak mengenal RA Kartini dan Dewi Sartika dengan baik. Mereka hanya saya kenal dari catatan-catatan sejarah di negeri ini. Tokoh perempuan yang pertama kali saya kenal di dunia ini adalah ibu saya sendiri. Dia juga tokoh pendidik terbaik bagi keluarga kami. Ibuku adalah guruku yang pertama. Kata-kata pertama yang dia ajarkan pada saya adalah nama panggilannya.
Ibu adalah orang pertama yang dari dalam rahimnya ia memberi kehidupan bagi kami, anak-anaknya. Perjuangannya sebagai ibu rumah tangga memang tidak akan pernah tercatat di buku sejarah manapun. Dari banyak tokoh-tokoh sejarah kaum perempuan, yang saya kenal dengan baik hanya ibu saya. Karena kasih sayang dan doa-doanya di sepanjang jalan hidup saya. Maka bagi saya, ucapan Selamat memperingati Hari Kartini diperuntukkan kepada semua perempuan Indonesia (yang berkebaya dan yang tidak berkebaya).
Wednesday, April 21st 2008.
Category: Features
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com
Label:
Keunggulan Perempuan
SPMB atau UMPTN?
Beredar polemik baru seputar sistem seleksi calon mahasiwa di Indonesia. Kini, ada 41 perguruan tinggi negeri yang keluar dari sistem SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Ada 2 model seleksi yang mungkin muncul. Ribuan calon mahasiswa, kini dilanda kebingungan.
Kisah tentang munculnya kembali istilah dan sistem Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), diawali dari terbitnya surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 30 Tahun 2008 tentang Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang salah satunya menyatakan bahwa uang hasil seleksi calon mahasiswa harus masuk ke kas negara sebagai Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selama sistem SPMB berjalan sebelum surat tersebut diterbitkan, pengelolaan uang hasil seleksi mahasiswa baru dilakukan oleh perhimpunan SPMB dan tidak masuk ke dalam kas negara. Perguruan Tinggi Negeri yang menjalankan SPMB pun dapat bagian dari dana ini. Cara seperti ini dinilai kurang aman dan kurang transparan, menurut Sugeng Martiyono, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta adalah satu dari 41 PTN yang tetap akan memilih untuk keluar dari perhimpunan SPMB, jika pengelolaan keuangan tersebut tidak kunjung transparan.
Sementara itu, Universitas Jambi (Unja) tetap memilih untuk terus melaksanakan SPMB. Alasannya, kepentingan calon mahasiswa lebih penting daripada urusan uang. Rektor Unja menilai, sistem SPMB lebih praktis dan para calon mahasiswa bisa memilih universitas favoritnya di seluruh Indonesia.
Apakah tahap penerimaan mahasiswa baru menjadi SPMB atau menjadi UMPTN, kembali dirundingkan oleh pihak Dirjen DIKTI di Bali. Dirjen Dikti, Fasli Jalal, Ph.D, dan para rektor yang mewakili berbagai universitas negeri di Indonesia, bersepakat untuk kembali menjalankan UMPTN. Keputusan ini diambil pada Rabu, 12 Maret 2008 lalu, di Bali. Ada 41 PTN yang menjalankan seleksi mahasiswa baru secara terpadu dan tidak lagi dikelola oleh perhimpunan SPMB.
Jumlah dari 41 PTN yang kembali ke UMPTN dibandingkan dengan 13 PTN yang terus menjalankan SPMB, sepertinya berat sebelah. Sudah jelas, akan muncul 2 model seleksi mahasiswa baru tahun 2008. Masalah ini cukup menggelisahkan para murid SMA yang kini duduk di kelas 3.
Di saat perguruan tinggi negeri masih berpolemik tentang uang hasil seleksi mahasiswa baru, ribuan calon mahasiswa justru dilanda bingung. Apapun model yang dipilih, pada umumnya para calon mahasiswa ini punya satu suara, yakni tidak dipersulit untuk masuk ke universitas negeri favoritnya.
Date of Published: Monday, February 26th 2008.
Category: Headline News
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipulbikasikan di www.sekampus.com
Kisah tentang munculnya kembali istilah dan sistem Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), diawali dari terbitnya surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 30 Tahun 2008 tentang Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang salah satunya menyatakan bahwa uang hasil seleksi calon mahasiswa harus masuk ke kas negara sebagai Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selama sistem SPMB berjalan sebelum surat tersebut diterbitkan, pengelolaan uang hasil seleksi mahasiswa baru dilakukan oleh perhimpunan SPMB dan tidak masuk ke dalam kas negara. Perguruan Tinggi Negeri yang menjalankan SPMB pun dapat bagian dari dana ini. Cara seperti ini dinilai kurang aman dan kurang transparan, menurut Sugeng Martiyono, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta adalah satu dari 41 PTN yang tetap akan memilih untuk keluar dari perhimpunan SPMB, jika pengelolaan keuangan tersebut tidak kunjung transparan.
Sementara itu, Universitas Jambi (Unja) tetap memilih untuk terus melaksanakan SPMB. Alasannya, kepentingan calon mahasiswa lebih penting daripada urusan uang. Rektor Unja menilai, sistem SPMB lebih praktis dan para calon mahasiswa bisa memilih universitas favoritnya di seluruh Indonesia.
Apakah tahap penerimaan mahasiswa baru menjadi SPMB atau menjadi UMPTN, kembali dirundingkan oleh pihak Dirjen DIKTI di Bali. Dirjen Dikti, Fasli Jalal, Ph.D, dan para rektor yang mewakili berbagai universitas negeri di Indonesia, bersepakat untuk kembali menjalankan UMPTN. Keputusan ini diambil pada Rabu, 12 Maret 2008 lalu, di Bali. Ada 41 PTN yang menjalankan seleksi mahasiswa baru secara terpadu dan tidak lagi dikelola oleh perhimpunan SPMB.
Jumlah dari 41 PTN yang kembali ke UMPTN dibandingkan dengan 13 PTN yang terus menjalankan SPMB, sepertinya berat sebelah. Sudah jelas, akan muncul 2 model seleksi mahasiswa baru tahun 2008. Masalah ini cukup menggelisahkan para murid SMA yang kini duduk di kelas 3.
Di saat perguruan tinggi negeri masih berpolemik tentang uang hasil seleksi mahasiswa baru, ribuan calon mahasiswa justru dilanda bingung. Apapun model yang dipilih, pada umumnya para calon mahasiswa ini punya satu suara, yakni tidak dipersulit untuk masuk ke universitas negeri favoritnya.
Date of Published: Monday, February 26th 2008.
Category: Headline News
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipulbikasikan di www.sekampus.com
Ayat-ayat Cinta: Film Religius?
Penontonnya membludak. Bioskop mendadak menyuguhkan fenomena anyar. Perempuan-perempuan remaja yang berjilbab dan bercadar sampai ke ibu-ibu pengajian, ikut nonton ramai-ramai. Ada apa dengan Ayat-ayat Cinta? Sewaktu masa kuliah dulu, saya gemar nonton film di bioskop. Tapi harus berulang kali kecewa karena satu sahabat saya selalu menolak ajakan ikut nonton di bioskop. Dia bilang, “Maaf, aku nunggu VCD nya aja. Nonton di rumah.”
Wuih.., dia harus menunggu beberapa bulan lagi setelah saya dan teman-teman lain sudah kenyang berdiskusi film baru itu. Belakangan, akhirnya teman saya yang selalu menolak ajakan nonton film rame-rame di bioskop itu bilang, “Aku bukannya enggak mau nonton di bioskop. Aku hanya merasa risih aja. Aku kan berjilbab. Aku belum siap menerima tatapan mata orang-orang yang bertanya-tanya nanti.”
Aih….akhirnya kami terpaksa memaklumi. Tanpa bermaksud mendiskriminasikan yang berbusana jilbab, waktu itu saya agak heran. Padahal film yang kami tonton adalah film-film komedi atau bahkan film action. Bukan (ehm…maaf..) film porno.
Minggu kemarin, adik saya yang bungsu baru pulang dari bioskop. “Wah…antri sampai 1 jam untuk dapat tiket nonton filmnya. Padahal sudah dua loket dibuka untuk 1 judul film ini. Yang nonton, juga banyak yang berjilbab,” ucapnya bersemangat. Maklum, dia salah satu anggota keluarga saya yang juga keranjingan nonton film di bioskop. Mungkin setelah berulang kali ia pergi nonton, malam itu ada sebuah fenomena baru yang dia lihat di gedung bioskop.
Setiawan Hanung Bramantyo, sang sutradara mengangkat film ini dari sebuah novel laris karya Habiburrahman El-Shirazy yang berjudul sama, Ayat-ayat Cinta. Penulis novelnya pernah menjalani masa kuliahnya di Kairo, lalu mencerap pengalaman budayanya dan menuangkannya dalam sebuah novel cinta romantis. Tema besarnya adalah poligami dalam Islam. Sebuah fenomena kehidupan pernikahan yang mampu menyita perhatian semua orang. Akhirnya, novelnya jadi sangat laris dan filmnya pun mampu menyerap penontonnya hingga membludak. Di sebuah bioskop mewah di daerah Bekasi yang punya 10 studio, mereka menyediakan dua loketnya khusus untuk film Ayat-ayat Cinta. Sampai ke Lampung, bioskop di pusat kotanya juga membuat penonton antri berjam-jam untuk dapatkan tiket nonton film yang satu ini.
Mengutip wawancaranya dengan sebuah media online, Hanung mengucap, “Saya menunggu ada produser yang ingin membuat film Islam. Tapi hingga film keenam saya, tidak ada satu pun produser yang berminat untuk membuat film Islam. Bahkan produser Islam pun tidak.” Ia menyatakan bahwa ia kerap ditolak organisasi Islam saat menawarkan ide ini. Karenanya ia salut kepada MD Pictures yang sudi mengadaptasi novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy, walau mereka non-Muslim.
Film ini dibintangi oleh Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carrisa Putri, Melanie Putria, dan Zaskia Adya Mecca. Sedangkan kru diperkuat oleh sinematografer Faozan Rizal, dan duet penulis skenario pasutri Salman Aristo-Ginatri S. Noer. “Saya mengajak Ginatri karena ada hal-hal dalam novelnya yang hanya dimengerti oleh wanita,” ucap Salman.
Walau tokoh Noura dan Aishah berbahasa Arab, namun di film ini, akan diadaptasi ke bahasa Indonesia. “Ya, seperti Memoirs of Geisha,” ungkap Aris. “Kami sudah membuat dialog berbahasa Arab, namun ditolak karena dianggap tidak komunikatif,” imbuh Gina.
Hanung Bramantyo “membungkus” film Ayat-ayat Cinta dalam label religius. Label religius ini memang cukup fenomenal. Ditengah serangan film horor dan komedi, Hanung jadi tampil beda. Dari daftar filmografinya, film ini jelas beda dengan film-filmnya yang lain. Sebut saja, Brownies (2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), Lentera Merah (2006) Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Kamulah Satu-Satunya (2007).
Kairo, Islam, dan perempuan berjilbab. Tiga penanda inilah yang membuat label religius menjadi dominan dalam tiap scene-nya. Namun ada beberapa logika cerita yang dibuat sangat terburu-buru. Konflik bathin Maria ketika ia memutuskan untuk memeluk agama Islam dan memasuki “dunia baru”nya, dibungkus terlalu ringkas. Setelah Maria memeluk Islam, salah satu adegannya menampilkan dengan jelas tanda salib di tangannya saat darah segar mengalir dari hidung Maria. Adegan ini membuat kronologis logika cerita yang dibangun menjadi remang-remang.
Label religius ini seperti legalisasi bagi beberapa adegan lainnya. Hanung nampaknya berniat membuat adegan romantis. Seperti saat Fahri sedang memadu kasih dengan mahramnya—Aisyah, di pelaminan. Adegan ini dibuat diperlambat durasinya, agar adegan “romantis”nya bisa dinikmati oleh penonton. Lainnya, ada pula adegan ketika Fahri dan Maria bercumbu di depan laptop. Hanung sepertinya hendak memberi “wawasan” kepada para penonton untuk ikut merasakan bahwa apapun yang sudah halal bagi kita, mau melakukannya dimana saja, tetap oke!
Bagaimanapun, film karya tangan dingin anak bangsa negeri ini mampu membuat seluruh kalangan penasaran dan berbondong-bondong ke bioskop. Laris manis…!
Date of Published: February 2008.
Writer: Ayu N. Andini
Category: Movie Review
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di www.sekampus.com
Wuih.., dia harus menunggu beberapa bulan lagi setelah saya dan teman-teman lain sudah kenyang berdiskusi film baru itu. Belakangan, akhirnya teman saya yang selalu menolak ajakan nonton film rame-rame di bioskop itu bilang, “Aku bukannya enggak mau nonton di bioskop. Aku hanya merasa risih aja. Aku kan berjilbab. Aku belum siap menerima tatapan mata orang-orang yang bertanya-tanya nanti.”
Aih….akhirnya kami terpaksa memaklumi. Tanpa bermaksud mendiskriminasikan yang berbusana jilbab, waktu itu saya agak heran. Padahal film yang kami tonton adalah film-film komedi atau bahkan film action. Bukan (ehm…maaf..) film porno.
Minggu kemarin, adik saya yang bungsu baru pulang dari bioskop. “Wah…antri sampai 1 jam untuk dapat tiket nonton filmnya. Padahal sudah dua loket dibuka untuk 1 judul film ini. Yang nonton, juga banyak yang berjilbab,” ucapnya bersemangat. Maklum, dia salah satu anggota keluarga saya yang juga keranjingan nonton film di bioskop. Mungkin setelah berulang kali ia pergi nonton, malam itu ada sebuah fenomena baru yang dia lihat di gedung bioskop.
Setiawan Hanung Bramantyo, sang sutradara mengangkat film ini dari sebuah novel laris karya Habiburrahman El-Shirazy yang berjudul sama, Ayat-ayat Cinta. Penulis novelnya pernah menjalani masa kuliahnya di Kairo, lalu mencerap pengalaman budayanya dan menuangkannya dalam sebuah novel cinta romantis. Tema besarnya adalah poligami dalam Islam. Sebuah fenomena kehidupan pernikahan yang mampu menyita perhatian semua orang. Akhirnya, novelnya jadi sangat laris dan filmnya pun mampu menyerap penontonnya hingga membludak. Di sebuah bioskop mewah di daerah Bekasi yang punya 10 studio, mereka menyediakan dua loketnya khusus untuk film Ayat-ayat Cinta. Sampai ke Lampung, bioskop di pusat kotanya juga membuat penonton antri berjam-jam untuk dapatkan tiket nonton film yang satu ini.
Mengutip wawancaranya dengan sebuah media online, Hanung mengucap, “Saya menunggu ada produser yang ingin membuat film Islam. Tapi hingga film keenam saya, tidak ada satu pun produser yang berminat untuk membuat film Islam. Bahkan produser Islam pun tidak.” Ia menyatakan bahwa ia kerap ditolak organisasi Islam saat menawarkan ide ini. Karenanya ia salut kepada MD Pictures yang sudi mengadaptasi novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy, walau mereka non-Muslim.
Film ini dibintangi oleh Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carrisa Putri, Melanie Putria, dan Zaskia Adya Mecca. Sedangkan kru diperkuat oleh sinematografer Faozan Rizal, dan duet penulis skenario pasutri Salman Aristo-Ginatri S. Noer. “Saya mengajak Ginatri karena ada hal-hal dalam novelnya yang hanya dimengerti oleh wanita,” ucap Salman.
Walau tokoh Noura dan Aishah berbahasa Arab, namun di film ini, akan diadaptasi ke bahasa Indonesia. “Ya, seperti Memoirs of Geisha,” ungkap Aris. “Kami sudah membuat dialog berbahasa Arab, namun ditolak karena dianggap tidak komunikatif,” imbuh Gina.
Hanung Bramantyo “membungkus” film Ayat-ayat Cinta dalam label religius. Label religius ini memang cukup fenomenal. Ditengah serangan film horor dan komedi, Hanung jadi tampil beda. Dari daftar filmografinya, film ini jelas beda dengan film-filmnya yang lain. Sebut saja, Brownies (2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), Lentera Merah (2006) Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Kamulah Satu-Satunya (2007).
Kairo, Islam, dan perempuan berjilbab. Tiga penanda inilah yang membuat label religius menjadi dominan dalam tiap scene-nya. Namun ada beberapa logika cerita yang dibuat sangat terburu-buru. Konflik bathin Maria ketika ia memutuskan untuk memeluk agama Islam dan memasuki “dunia baru”nya, dibungkus terlalu ringkas. Setelah Maria memeluk Islam, salah satu adegannya menampilkan dengan jelas tanda salib di tangannya saat darah segar mengalir dari hidung Maria. Adegan ini membuat kronologis logika cerita yang dibangun menjadi remang-remang.
Label religius ini seperti legalisasi bagi beberapa adegan lainnya. Hanung nampaknya berniat membuat adegan romantis. Seperti saat Fahri sedang memadu kasih dengan mahramnya—Aisyah, di pelaminan. Adegan ini dibuat diperlambat durasinya, agar adegan “romantis”nya bisa dinikmati oleh penonton. Lainnya, ada pula adegan ketika Fahri dan Maria bercumbu di depan laptop. Hanung sepertinya hendak memberi “wawasan” kepada para penonton untuk ikut merasakan bahwa apapun yang sudah halal bagi kita, mau melakukannya dimana saja, tetap oke!
Bagaimanapun, film karya tangan dingin anak bangsa negeri ini mampu membuat seluruh kalangan penasaran dan berbondong-bondong ke bioskop. Laris manis…!
Date of Published: February 2008.
Writer: Ayu N. Andini
Category: Movie Review
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di www.sekampus.com
Label:
Movie Review
Langganan:
Postingan (Atom)