Kamis, 31 Juli 2008

Hari Berkebaya Nasional

Indonesia punya pahlawan nasional perempuan yang sangat populer. Tak ada yang tak kenal Raden Ajeng Kartini. Hari lahirnya tanggal 21 April, kerap diperingati di negeri ini dengan pawai busana kebaya dan kain batik, lengkap dengan sanggulnya. Pemandangannya memang jadi sangat menarik. Lha,…ini Hari Kartini atau Hari Kebaya, ya? Itu pertanyaan saya ketika 21 tahun yang lalu harus ikut lomba berbusana kebaya Hari Kartini di sekolah dasar di wilayah timur Kalimantan.

Bahkan minggu lalu, di daerah Solo ada sebuah kegiatan senam aerobic yang digelar dini hari. Peserta senamnya juga mengenakan kebaya lengkap dengan kain batik, minus sanggul dan riasannya. Filosofi kebaya sebagai busana perempuan Indonesia malah jadi bias. Jangan-jangan nanti malah ada lomba lari (sprint) di Hari Kartini dan pesertanya harus pakai baju kebaya. Lucu, tapi malah jadi dagelan.

Begitu lekatnya image Kartini dengan Kebaya. Identitas perempuan Indonesia secara fisik seperti digambarkan pada setiap peringatan Hari Kartini. Mereka dipaparkan sebagai yang anggun, lembut, berkebaya, berkonde, dan berjalan sangat pelan (tak bisa berjalan dengan langkah yang lebar karena lebar kain yang menjaga tiap langkah menjadi sangat pendek). Wow!!! Orang-orang bule pasti sangat tertarik dengan pemandangan seperti itu karena di negaranya tak ada perempuan berkonde, berkebaya, dan berjalan sangat pelan. Kalau pun ada, mungkin sedang menuntun kakek atau neneknya jalan-jalan pagi.


Kebiasaan memperingati Hari Kartini dengan berkebaya kemana-mana, jadi pemandangan khas. Perempuan-perempuan justru tampil lebih cantik daripada hari-hari biasanya. Hari berkebaya nasional ini juga bikin orang-orang repot pergi ke salon terbaik untuk menata riasan berkebayanya. Rampung urusan penampilan, mereka juga mendokumentasikan momen tak biasa ini. Potret sana, potret sini.


Ngomong-ngomong tentang potret, saya jadi teringat peristiwa ketika bertemu dengan pemimpin umum sebuah majalah perempuan yang terkenal di negeri ini. Dia, pria yang sudah tak muda lagi. Usianya bahkan sudah mencapai 70 tahun. Ketika saya tanya, apa rahasianya agar majalahnya bisa bertahan puluhan tahun tanpa pernah dicekal dan tanpa pernah berhenti naik cetak, ia menjawab dengan menunjuk ke arah belakang punggung saya.


“Coba lihat dibelakangmu,” katanya. Di belakang tempat saya duduk, ada sebuah potret yang cukup besar, berpigura kayu. Potret perempuan berwajah ayu, berkebaya lengkap dengan sanggulnya. Itu potret RA. Kartini.


“Kami ingin memberikan yang terbaik untuk perempuan Indonesia seperti yang pernah RA. Kartini berikan waktu dulu,” ucapnya. Maksudnya, tentu saja tak sama dengan semangat dan mimpi RA. Kartini tempo dulu (walaupun nama majalahnya sama dengan nama pahlawan nasional ini). Intinya, mereka akan memberikan harga yang paling cocok per eksemplarnya, dengan isi yang juga cocok dengan kegemaran perempuan Indonesia. Misalnya, kisah-kisah sejati para perempuan yang berjuang melawan penyakit mematikan, perjuangan perempuan dalam menghadapi saat-saat genting dalam rumah tangga, perjuangan perempuan di dapur alias mencoba resep-resep masakan menarik di dalam majalahnya.


Ucapannya itu, membuat pikiran saya seperti melompat ke jaman RA. Kartini ketika mendirikan sekolah perempuan di daerahnya pada tahun 1903 di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka di Kabupaten Rembang. Perempuan rakyat jelata bersekolah, bisa membaca dan menulis? Hal ini masih dianggap tidak mungkin. Sampai pada akhirnya, sekolah itu benar-benar ada. Sampai pada akhirnya, Kartini benar-benar mengajarkan semua murid perempuannya di sana. Sayangnya, kegiatan ini tak berlangsung lama. Kartini keburu dipaksa menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya. Bagaimana nasib sekolah itu? Tak ada perempuan di sana yang meneruskan. Impian Kartini, cuma wujud sebentar. Mimpinya sebagai perempuan sejati, juga terpaksa hilang. Ia meninggal dunia tahun 1904 (pada usia25 tahun) setelah melahirkan anak pertamanya. Kartini bahkan tak sempat mengalami masa indahnya sebagai ibu bagi keluarganya sendiri.


Kala itu, Indonesia tentu saja belum mengenal program Ayah Siaga yang setiap bulan harus rutin mengantar istrinya yang sedang hamil untuk periksa kesehatan kehamilannya ke pusat kesehatan masyarakat. Jauh! Nyawa RA Kartini tak bisa diselamatkan karena ia mengalami pendarahan ketika melahirkan. Yang Kartini pikirkan waktu itu baru satu hal: pendidikan bagi kaum perempuan.

Belum sampai pada masalah kesehatan. Untuk masalah pendidikan bagi kaum perempuan, nun di wilayah Jawa Barat sana ada seorang perempuan yang telah mewujudkannya lebih dulu daripada RA Kartini. Dia adalah Dewi Sartika. Fakta sejarah mencatat bahwa perempuan kelahiran Bandung, 4 Desember 1884 itu adalah perintis pendidikan untuk kaum perempuan yang pertama di Indonesia.


Menurut catatan sejarah, tahun 1894 wilayah Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu. Belakangan, diketahui bahwa yang membuat anak-anak pembantu kepatihan itu menjadi pandai membaca dan menulis adalah Dewi Sartika. Ketika itu, usianya baru menginjak 10 tahun.

Anak keturunan bangsawan tanah Sunda ini kerap bermain di belakang gedung kepatihan. Sambil bermain, ia memperagakan praktik mengajar yang ia lihat dari gurunya. Dewi Sartika pun mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.


Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Pada tahun 1909, sekolah ini telah meluluskan angkatan pertamanya. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal pada saat itu.

Dalam perkembangannya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan Sakola Istri-Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota dan kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh Sakola Istri tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).

Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Entah kenapa, sejarahnya sebagai perintis pendidikan bagi kaum perempuan memang kalah populer dibanding dengan RA Kartini. Padahal RA Kartini cuma dikenal lewat arsip-sarsip surat menyuratnya dengan sahabatnya (Estelle Zeehandelaar) di negeri kincir angin itu.

Bukan karena gerakan pendidikannya yang hanya sebentar, melainkan karena terungkapnya pikiran-pikiran RA. Kartini dalam memandang dirinya dan hidupnya.Saya tak mengenal RA Kartini dan Dewi Sartika dengan baik. Mereka hanya saya kenal dari catatan-catatan sejarah di negeri ini. Tokoh perempuan yang pertama kali saya kenal di dunia ini adalah ibu saya sendiri. Dia juga tokoh pendidik terbaik bagi keluarga kami. Ibuku adalah guruku yang pertama. Kata-kata pertama yang dia ajarkan pada saya adalah nama panggilannya.

Ibu adalah orang pertama yang dari dalam rahimnya ia memberi kehidupan bagi kami, anak-anaknya. Perjuangannya sebagai ibu rumah tangga memang tidak akan pernah tercatat di buku sejarah manapun. Dari banyak tokoh-tokoh sejarah kaum perempuan, yang saya kenal dengan baik hanya ibu saya. Karena kasih sayang dan doa-doanya di sepanjang jalan hidup saya. Maka bagi saya, ucapan Selamat memperingati Hari Kartini diperuntukkan kepada semua perempuan Indonesia (yang berkebaya dan yang tidak berkebaya).

Wednesday, April 21st 2008.
Category: Features
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com

Tidak ada komentar: