Kamis, 31 Juli 2008

Ayat-ayat Cinta: Film Religius?

Penontonnya membludak. Bioskop mendadak menyuguhkan fenomena anyar. Perempuan-perempuan remaja yang berjilbab dan bercadar sampai ke ibu-ibu pengajian, ikut nonton ramai-ramai. Ada apa dengan Ayat-ayat Cinta? Sewaktu masa kuliah dulu, saya gemar nonton film di bioskop. Tapi harus berulang kali kecewa karena satu sahabat saya selalu menolak ajakan ikut nonton di bioskop. Dia bilang, “Maaf, aku nunggu VCD nya aja. Nonton di rumah.”

Wuih.., dia harus menunggu beberapa bulan lagi setelah saya dan teman-teman lain sudah kenyang berdiskusi film baru itu. Belakangan, akhirnya teman saya yang selalu menolak ajakan nonton film rame-rame di bioskop itu bilang, “Aku bukannya enggak mau nonton di bioskop. Aku hanya merasa risih aja. Aku kan berjilbab. Aku belum siap menerima tatapan mata orang-orang yang bertanya-tanya nanti.”

Aih….akhirnya kami terpaksa memaklumi. Tanpa bermaksud mendiskriminasikan yang berbusana jilbab, waktu itu saya agak heran. Padahal film yang kami tonton adalah film-film komedi atau bahkan film action. Bukan (ehm…maaf..) film porno.

Minggu kemarin, adik saya yang bungsu baru pulang dari bioskop. “Wah…antri sampai 1 jam untuk dapat tiket nonton filmnya. Padahal sudah dua loket dibuka untuk 1 judul film ini. Yang nonton, juga banyak yang berjilbab,” ucapnya bersemangat. Maklum, dia salah satu anggota keluarga saya yang juga keranjingan nonton film di bioskop. Mungkin setelah berulang kali ia pergi nonton, malam itu ada sebuah fenomena baru yang dia lihat di gedung bioskop.

Setiawan Hanung Bramantyo, sang sutradara mengangkat film ini dari sebuah novel laris karya Habiburrahman El-Shirazy yang berjudul sama, Ayat-ayat Cinta. Penulis novelnya pernah menjalani masa kuliahnya di Kairo, lalu mencerap pengalaman budayanya dan menuangkannya dalam sebuah novel cinta romantis. Tema besarnya adalah poligami dalam Islam. Sebuah fenomena kehidupan pernikahan yang mampu menyita perhatian semua orang. Akhirnya, novelnya jadi sangat laris dan filmnya pun mampu menyerap penontonnya hingga membludak. Di sebuah bioskop mewah di daerah Bekasi yang punya 10 studio, mereka menyediakan dua loketnya khusus untuk film Ayat-ayat Cinta. Sampai ke Lampung, bioskop di pusat kotanya juga membuat penonton antri berjam-jam untuk dapatkan tiket nonton film yang satu ini.

Mengutip wawancaranya dengan sebuah media online, Hanung mengucap, “Saya menunggu ada produser yang ingin membuat film Islam. Tapi hingga film keenam saya, tidak ada satu pun produser yang berminat untuk membuat film Islam. Bahkan produser Islam pun tidak.” Ia menyatakan bahwa ia kerap ditolak organisasi Islam saat menawarkan ide ini. Karenanya ia salut kepada MD Pictures yang sudi mengadaptasi novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy, walau mereka non-Muslim.



Film ini dibintangi oleh Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carrisa Putri, Melanie Putria, dan Zaskia Adya Mecca. Sedangkan kru diperkuat oleh sinematografer Faozan Rizal, dan duet penulis skenario pasutri Salman Aristo-Ginatri S. Noer. “Saya mengajak Ginatri karena ada hal-hal dalam novelnya yang hanya dimengerti oleh wanita,” ucap Salman.

Walau tokoh Noura dan Aishah berbahasa Arab, namun di film ini, akan diadaptasi ke bahasa Indonesia. “Ya, seperti Memoirs of Geisha,” ungkap Aris. “Kami sudah membuat dialog berbahasa Arab, namun ditolak karena dianggap tidak komunikatif,” imbuh Gina.

Hanung Bramantyo “membungkus” film Ayat-ayat Cinta dalam label religius. Label religius ini memang cukup fenomenal. Ditengah serangan film horor dan komedi, Hanung jadi tampil beda. Dari daftar filmografinya, film ini jelas beda dengan film-filmnya yang lain. Sebut saja, Brownies (2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), Lentera Merah (2006) Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Kamulah Satu-Satunya (2007).

Kairo, Islam, dan perempuan berjilbab. Tiga penanda inilah yang membuat label religius menjadi dominan dalam tiap scene-nya. Namun ada beberapa logika cerita yang dibuat sangat terburu-buru. Konflik bathin Maria ketika ia memutuskan untuk memeluk agama Islam dan memasuki “dunia baru”nya, dibungkus terlalu ringkas. Setelah Maria memeluk Islam, salah satu adegannya menampilkan dengan jelas tanda salib di tangannya saat darah segar mengalir dari hidung Maria. Adegan ini membuat kronologis logika cerita yang dibangun menjadi remang-remang.

Label religius ini seperti legalisasi bagi beberapa adegan lainnya. Hanung nampaknya berniat membuat adegan romantis. Seperti saat Fahri sedang memadu kasih dengan mahramnya—Aisyah, di pelaminan. Adegan ini dibuat diperlambat durasinya, agar adegan “romantis”nya bisa dinikmati oleh penonton. Lainnya, ada pula adegan ketika Fahri dan Maria bercumbu di depan laptop. Hanung sepertinya hendak memberi “wawasan” kepada para penonton untuk ikut merasakan bahwa apapun yang sudah halal bagi kita, mau melakukannya dimana saja, tetap oke!

Bagaimanapun, film karya tangan dingin anak bangsa negeri ini mampu membuat seluruh kalangan penasaran dan berbondong-bondong ke bioskop. Laris manis…!

Date of Published: February 2008.
Writer: Ayu N. Andini
Category: Movie Review

Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di www.sekampus.com

Tidak ada komentar: