Hasil pertanian dikhawatirkan akan sering mengecewakan, gletser di Kutub Utara semakin banyak yang mencair, suhu bumi makin panas, bencana alam akan sering terjadi, dan dicemaskan pula beberapa jenis hewan akan punah. Sekelumit kegelisahan ini adalah definisi pendek dari global warming.
Sebenarnya, sejak tahun 2000-an, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di Jakarta telah banyak bersuara tentang pemanasan global (global warming). Sangat disayangkan, tulisan-tulisan tentang hal itu hanya mereka publikasikan dalam majalah internal instansi mereka. Inspirasi ini kurang meluas ke publik.
Di penghujung 2007 lalu, berbondong-bondong para ilmuwan dan pejabat penting dari berbagai penjuru dunia datang ke Bali menggodog kegelisahan mereka tentang hal yang sama. Berbagai LSM lingkungan, menyuarakan kegelisahan mereka. Berbagai media massa juga datang meliput. Catatan peristiwanya dalam beberapa hari menjadi headline di koran-koran.
Apakah kegelisahan ini menular luas kepada kita? Untuk jawaban khusus dari Indonesia, mungkin masyarakat kita masih terlalu repot dengan masalah penanggulangan banjir, tanah longsor, busung lapar, dan buta huruf. Prioritas tentang global warming bisa jadi urutan paling bawah dari sekian banyak kerumitan kehidupan sehari-hari.
Padahal, ilmuwan-ilmuwan ini bicara banyak sebagai wakil dari suara kegelisahan negaranya masing-masing. KTT Iklim yang berlangsung selama dua minggu di Bali pada awal Desember 2007 lalu, diikuti oleh delegasi hampir dari 190 negara di dunia. Tujuan utama sesungguhnya adalah membujuk Amerika Serikat untuk menyetujui pengurangan emisi karbon dioksida dan efek-efek rumah kaca lainnya.
Walaupun delegasi Amerika Serikat menyatakan tidak ada halangan untuk menandatangai perjanjian emisi, Washington tetap menolak untuk mendukung upaya banyak negara lain, seperti pengurangan emisi oleh negara-negara kaya dan berusaha membatasi peningkatan temperatur global.
Posisi Amerika Serikat agak terpojok ketika Perdana Menteri Australia yang baru, menandatangi ratifikasi pakta iklim Kyoto Protocol. Langkah ini membuat Amerika Serikat, pemasok utama efek-efek rumah kaca dan emisi gas menjadi satu-satunya negara yang tidak mau meratifikasi pakta iklim tersebut.
Pemimpin KTT Iklim mendesak para delegasi untuk segera memerangi perubahan iklim global. "The eyes of the world are upon you. There is a huge responsibility for Bali to deliver," kata Yvo de Boer, Sekjen KTT Iklim.
KTT Iklim di Bali jadi global momentum untuk menarik action yang dramatis untuk menghentikan perubahan temperatur dunia (global warming) yang dikatakan para ilmuwan dapat berdampak tenggelamnya pantai dan pulau-pulau oleh samudra, melenyapkan spesies-spesies, menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan memicu bencana alam.
KTT iklim Bali adalah KTT pertama sejak mantan wapres Amerika Serikat Al Gore dan dewan ilmiah PBB memenangkan hadiah Nobel di bulan Oktober 2007 lalu untuk jasa-jasa mereka terhadap lingkungan hidup.
Tujuan jangka pendek adalah negosiasi menuju sebuah pakta baru untuk menggantikan Kyoto Protocol yang akan habis masa berlakunya pada tahun 2012, merencanakan agenda dan batas waktu untuk pembicaraan lebih lanjut. PBB mengharapkan protokol baru segera dibicarakan sebelum tahun 2009 agar dapat menggantikan protokol Kyoto pada waktunya.
Kilas Balik Protokol Kyoto
Kerjasama internasional diperlukan untuk menyukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menerjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 % di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 % di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 %; dan Jepang 6 %. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Menginjak tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal komitmennya dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 % dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada tahun 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan dan metode serta sanksi yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negosiator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain.
Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda. Negara ini dapat membeli kredit polusi di pasar yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 % di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
Monday, February 26th 2008.
Category: Headline News
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar