Jumat, 01 Agustus 2008

Henny Susanto, Brand Marketing HM Sampoerna yang Bukan Perokok

“Saya bukan perokok,” tegas Henny Susanto, Director of Brand Marketing PT. HM Sampoerna. Kecintaannya terhadap pekerjaannya membuatnya beroleh kecintaan dari perusahaan tempatnya bekerja. Setelah 12 tahun meniti karir di PT. HM. Sampoerna, kini ia telah mencapai kedudukan sebagai salah satu direktur di sana.

Profilnya cukup unik. Sebagai perempuan yang tidak merokok dan terjun bekerja menjadi brand marketing produk-produk rokok, kondisi ini sangat kontras. Sekitar tahun 1996, Henny mengawali karirnya di sana sebagai Associate Brand Manager di produk Sampoerna A Mild.

Pertama kali bekerja di sana, Sang Atasan mempertanyakan kondisi kontras ini. “Waktu itu, saya juga ditanya karena bukan perokok, bagaimana bisa memahami brand product nya?” kenangnya. Ia menceritakan, jawabannya cukup lugas. Menurutnya, kenali saja karakter konsumen. Tugasnya adalah untuk meyakinkan konsumen dan bukan untuk menjadi user/perokok.

“Jadi, tugas saya memang untuk meyakinkan konsumen bahwa mereka telah mendapatkan brand yang tepat. Pada prinsipnya, kami hanya memberikan berbagai pilihan terhadap perokok-perokok ini. Kami memberikan diferensiasi terhadap produk-produk ini. Saya ingin konsumen lebih cenderung milih produk rokok dari HM Sampoerna,” tuturnya panjang lebar.

Henny juga berbagi rahasia trik menjerat konsumen. Baginya, cara yang paling jitu adalah dengan menawarkan produk rokok yang sesuai dengan image/karakter yang diinginkan konsumen.

Karakter produk juga didukung penuh dengan program promo yang muncul di iklan-iklan layar televisi setiap hari. Dengan sasaran konsumen yang sangat beragam, kemasan iklan juga dibuat menarik.

“Jika itu menampilkan profil aktifitas sebuah komunitas, yang kami bidik adalah karakter yang dinamis, aktif, dan kekompakan team work nya. Maka, image produk yang punya spirit Indonesian Culture dan semangat kebersamaan harus dikomunikasikan,” katanya.

Dari riwayat karirnya selama 12 tahun di PT. HM. Sampoerna, Henny Susanto tak pernah mengenal kata: BERHENTI untuk selalu belajar dari orang-orang yang ada di sekitarnya termasuk belajar banyak dari para kompetitornya.

“Motivasi saya, ya nonstop learning. Tidak hanya dengan cara yang formal. Kalau saja ada waktu untuk saya bisa kembali kuliah dan baca buku lebih banyak, itu akan lebih baik lagi.”

Kini, ia bekerja membawahi sekitar 30 s/d 40 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Ibu dari Viko (9) dan Vessa (7) ini juga punya trik mendidik anak-anaknya, dan anak-anak buahnya.

Pendekatan yang dilakukan olehnya, hanya dengan cara mengenali mereka baik-baik. “Individu-individu itu masing-masing punya kebutuhan yang berbeda. Tapi jangan sampai ada anak emas. Kenali bahwa mereka punya strength, weekness, dan ambisi-ambisi. Untuk karyawan, saya juga selalu perhatikan cara kerja mereka masing-masing. Supaya mereka bisa berikan kontribusinya yang terbaik ke perusahaan,” ujar istri dari Andy Sunanta ini.

Sebagai brand marketing director, ia cukup sibuk mengurus brand yang ada di portfolio HM Sampoerna. Ada Sampoerna Hijau, Sampoerna A Mild, Djisamsoe, Marlboro, dan dari U Mild (sister company). Pekerjaan yang sangat dinamis. Tugas utamanya kini adalah mengelola tim kerjanya untuk menjaga ’kesehatan’ masing-masing brand.

Dalam hidupnya, ia punya target, “Saya ingin lebih menyeimbangkan lagi antara pekerjaan dan keluarga karena saya tahu, saya masih ‘hutang’ banyak kepada dua-duanya,” ujarnya sambil menutup percakapan.

Veronica Colondam, Perang Melawan Narkoba


“I think…Mother Theressa,” ucap Veronica Colondam, Chief of Executive Officer Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Mother Theressa, jadi tokoh panutannya selama ini. Dalam kepemimpinannya, YCAB telah menerima kepercayaan dari United Nations Office of Drug Control (UNODC) untuk menjadi koordinator NGO (Non Governvement Organization) yang bergerak dalam program pencegahan narkoba se-Asia Pasific.

Veronica Colondam, adalah pendiri sekaligus pemimpin YCAB sejak tahun 1999 hingga sekarang. Organisasi ini berjalan, berkembang, dan menjadi besar di bawah kepemimpinannya. Kiprah Veronica dalam usahanya mendukung Indonesia bebas dari narkoba telah menerima pengakuan dari beberapa lembaga dan orang penting skala nasional dan internasional.
Ketika ditanyakan perihal awal keterlibatannya dalam kegiatan sosial, ia mengaku semuanya diawali dari perasaan gelisahnya karena terus menerus dikejar berbagai pertanyaan.

“Meaning and purpose in my life. Hal dasar itulah yang kemudian menjadi problem pada saya. Sejak usia 20-an, saya merasa dikejar-kejar. Ini semua memang perjalanan spiritual saya,” akunya.

Keinginan yang kuat untuk ‘memberi’ kepada orang banyak, tepatnya mulai muncul ketika ia telah menjalani kehidupan mapan dalam rumah tangganya bersama suaminya, Pieter. “Pada saat umur 27 tahun waktu itu, saya udah punya anak. Saya ingin memberikan value added untuk hidup saya,” tegasnya.

Di usia 29 tahun, Veronica menjadi orang termuda yang pernah menerima Penghargaan PBB-Vienna Civil Society Awards (2001) dan Penghargaan Emas dari Badan Narkotika NAsional dari Kapolri dan Presiden Republik Indonesia tahun 2003.

Peraih gelar Master of Science dalam bidang Drug Policy and Intervention dari Imperial College – London dan The London School of Hygiene and Tropical Diseases, memaparkan bahwa 1 dari 10 anak usia 10 s/d 17 tahun di Indonesia, mengaku pernah mencoba narkoba.

Veronica menganalisa, “Dari paparan ini, ada jumlah yang mayoritas. Sisanya yang 9 orang itu bisa dijaga dan dicegah agar mereka jauh dari jangkauan narkoba.”

Program YCAB memang sangat spesifik. “Lebih banyak bergerak di area pencegahan,” ujarnya. Ia menuturkan, ada sekitar 35 juta anak di seluruh Indonesia sekarang. Ditargetkan, tahun ini program YCAB akan menjangkau 300.000 anak Indonesia. Program lainnya, mereka yang putus sekolah sebanyak 3.000 anak juga akan disekolahkan gratis.
Menurut perhitungan program yang akan dijalankan, untuk menjangkau sekitar 35 juta anak, dibutuhkan sekitar 150 tahun program, barulah semuanya rampung.

“Saya sendiri, berupaya mencari yayasan untuk jadi saingan YCAB agar program ini cepat rampung, itu juga cukup sulit,” ujar ibunda dari Philmon (13), Adelle (11), dan Joey (7).

Dari hasil penelitian para pakar dan pengalamannya selama ini, ia berpendapat bahwa penyebab terjeratnya anak-anak dan remaja menjadi pengguna dan pecandu narkoba didasari satu penyebab besar. “Karena mereka tidak punya dignity. Mereka tidak punya keagungan diri. Mereka merasa tak berharga, hingga berani bermain-main dengan hal-hal yang bisa merusak mereka. Ini adalah penyebab yang terpola secara tidak sadar.”

Penulis buku berjudul Raising DRUG-FREE Children ini juga menerapkan didikan tegas kepada anak-anaknya di rumah.

“Kepada mereka , saya terapkan bahwa sebagai ciptaan Tuhan dan sebagai makhluk yang paling mulia, maka mereka harus bertindak mulia dan merasa mulia,” ucapnya.

Date of published: June 3rd 2008
Category: Feature Personal Profile

Content: Indonesian On The Go.
Writer: Ayu N. Andini


Tulisan ini pertamakali dipublikasikan di www.indofamily.net

Dyah Kartika, Tarik Ulur di Lapangan


“Jaman sekarang dimanapun kita berada, kita harus kuat,” ucap Dyah Kartika .N, Marketing Communication Manager PT. Softex Indonesia. Wanita karir yang satu ini, mengaku berkarakter perempuan Jawa jaman dulu yang tidak 'neko-neko'.

Pengalaman kerjanya sebagai tim promosi dan marketing product yang jempolan, tak lantas membuat dirinya melupakan adat Jawa yang mengalir kental dalam darahnya. Lahir dan tumbuh dari keluarga militer, juga membentuknya menjadi pribadi yang ulet dan disiplin.

Lulusan tahun 1992 Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan Hubungan Masyarakat IISIP Jakarta itu, mulai menggeluti bidang marketing sejak pertama kali bekerja di PT. Bayer Indonesia tahun 1993.

“Waktu itu, saya langsung duduk di tim promosi dan langsung harus menangani 150 orang sales promotion girl,” kenangnya. Ia juga mengaku, dari pengalaman itu ada banyak pelajaran baru yang ia peroleh. Menangani kinerja para ujung tombak ini, Dyah punya tips dan trik yang tak pernah ada di buku panduan manapun.

“Karena pengalaman yang saya peroleh di lapangan adalah panduan yang terbaik unutk belajar. Terus terang, saya tidak pernah mengacu ke buku panduan manapun unutk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di bidang kerja saya,” ungkapnya.

Di pengalaman kerja pertamanya, ia diserahi tanggungjawab sebagai area promotion manager untuk wilayah Jakarta. Bu Dyah, begitu ia akbrab dipanggil berbagi cerita, “Pimpinan saya orang Jerman, saya diminta keluar kota, bikin tim promosi. Mulai tidak ada tim sampai dengan menjadi tim yang bagus. Saya keliling Indonesia selama tahun 1994-1995.”

Menginjak tahun 1995, perusahaan tempatnya bekerja kemudian menjadikannya sebagai area sales manager. Di dunia sales Bu Dyah juga belajar lebih banyak tentang sales. Ia mengakui, bidang sales lebih unik lagi karena harus memahami produk-produk kompetitor juga.

Tahun 96, PT. Bayer Indonesia, terbagi dua. Lalu ia ditarik ke perusahaan yang memproduksi merk HIT. Terakhir di sana, ia menjabat sebagai national sales manager, sampai 2003. “Akhir Agustus 2003, saya pindah ke PT. Softex Indonesia sampai sekarang,” akunya.

Bu Dyah juga menangani sales promotion girl di sini. Kendala yang datang padanya, tak sebesar waktu pengalaman pertamanya dulu.

“Kultur dulu dan sekarang sudah beda. Dulu, ‘drive’ untuk mereka harus keras. Sekarang, saya harus pakai trik,” tegasnya.

Menurutnya, ia memimpin mereka seperti layangan. “Saat tertentu harus diulur, saat tertentu harus di tarik, sampai mereka dewasa dengan sendirinya,” ungkap Bu Dyah.

Ia menjelaskan, pada tahap pertama ia akan merepkan disiplin pada diri SPG nya (Sales Promotion Girl). “Mau dikatakan saya ini, ya galaklah. Tidak apa-apa," akunya sambil tersenyum.

dyah kartika2 Karena selama ini ia meyakini, bahwa selama disiplin itu sudah tertanam pada diri semua SPG nya, maka segala tugas SPGnya akan membuat grafik angka penjualan produk Softex meningkat.

“Kalau mereka sudah sangat ready di outlet, barulah saya ulur. Maksudnya, saya tidak akan memantau terlalu ketat kerja-kerja mereka. Tapi jika grafik penjualannya mulai kendor, saya akan mulai tegas lagi pada mereka,” tuturnya.

Anak dari Soetjipto Pramono, seorang guru besar di Persatuan Beladiri Dibya Indonesia (PBDI) Jakarta ini, punya target.

“Target dimanapun saya bekerja, saya harus lakukan yang terbaik supaya hasilnya juga menjadi yang terbaik,” ujarnya lugas.

Tak jarang, Bu Dyah juga lakukan “sidak” (inspeksi mendadak) ke lokasi kerja SPG nya di hari libur. Ia ingin, anggota tim kerjanya juga bisa paham tentang loyalitas kerja yang dijalaninya. Libur, tetap bekerja. Bahkan kadang anak-anaknya juga diajaknya turut serta ke sana. Ujarnya, “Saya juga ingin agar anak-anak saya paham dengan dunia kerja saya.” Dalam keluarga, ia mendapat dukungan penuh Max F. Roebert, sang suami tercinta.

Selama lima tahun di PT. Softex Indonesia, Bu Dyah menyatakan dirinya sebagai yang bukan ‘kutu loncat’. “Semua pekerjaan selalu saya tekuni dan lakukan sebaik-baiknya. Saya bukan sang kutu loncat yang karirnya ingin cepat dan gaji yang makin besar. Saya ini, cuma telaten. Itu saja,” aku ibu dari Patricia (9) dan Patrick Roebert (6) ini.

Ketika softex memutuskan kerjasama dengan banyak bidang, termasuk film dan beberapa media online, Bu Dyah berada dalam tim yang juga terlibat program campaign product. Tentang pengalamannya bergabung dengan tim marketing di sana, ia berpendapat, “Buat saya, ini ada seninya.”

Selain sebagai wanita karir yang tegas dan lugas, ia juga punya kegemaran olahraga yang kini tak sempat dijalaninya lagi. Sebagai pemegang ban hitam karate Jutsu dan penerus jalannya Pusdiklat PBDI Jakarta, ia mengaku menjadi pribadi yang berani dan sportif.

“Jika saya lakukan kesalahan, saya selalu sportif mengaku salah dan minta maaf langsung. Itu yang sampai kini melekat di diri saya,” akunya.

Date of published: May 29th 2008.
Category: Feature Personal Profile

Content: Indonesian On The Go.
Writer: Ayu N. Andini


Tulisan ini pertamakali dipublikasikan di www.indofamily.net

Hokiono, Marketing Handal Indonesia

Penggemar buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer ini, adalah peraih First Winner Young Marketer Award 2003 yang dianugerahkan padanya dari Indonesia Marketing Association (IMA), SWA Magazine dan Markplus & Co. Kini, ia bekerja sebagai Deputy Director Marketing di PT. Bintang Toedjoe.

Pengalamannya sebagai pakar pemasaran dan branding product, tak diragukan lagi. Profesi yang dijalani selama 13 tahun, menoreh sejarah prestasinya 5 tahun yang lalu. Ketika itu, ia menjadi juara pertama Young Marketer Award 2003. Penghargaan ini diberikan pada Hokiono berkat kepiawaiannya menaikkan angka pemasaran produk Sampoerna Hijau yang kala itu mencapai peningkatan lebih dari 50%.

Ia mengungkapkan, bahwa keikutsertaan dirinya dalam ajang Young Marketing Award hanyalah untuk belajar banyak hal dan berbagi pengalaman dengan pemasar-pemasar industri lain. “Kalau akhirnya saya menang, itu adalah bonus. Tentu saja ada perasaan bangga karena hasil pekerjaaan saya dihargai tidak saja oleh internal perusahaan tetapi juga oleh dunia marketing Indonesia,” tuturnya.

Hokiono yang kerap dipanggil Pak Hoki, lahir dan menghabiskan masa remajanya di kota pahlawan, Surabaya. Tahun 1994 ia menyandang gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Surabaya.

Hoki mengenang masa lalunya, “Pada saat pertama kali bekerja pun saya menggeluti dunia finance dan accounting. Setelah setahun di bidang ini, saya mulai merasakan kejenuhan karena pekerjaannya yang rutin, berulang-ulang, dan setiap hari duduk di belakang meja.”

Dari kejenuhan ini, ia mulai melirik dunia periklanan yang cukup “subur” di beberapa stasiun televisi swasta. Ketertarikannya terhadap dunia marketing mulai tumbuh. Karena menurutnya dunia marketing melalui periklanan sangat dinamis dan kreatif.

Tahun 1995, ia memberanikan diri melamar pekerjaan ke PT. HM. Sampoerna Tbk. sebagai brand assistant. Di sanalah, ia menapakkan karir pertamanya di dunia marketing dan menikmatinya hingga sekarang. Usianya kini belum genap 37 tahun.

“Tidak terasa 13 tahun saya sudah menggeluti bidang ini. Dunia marketing Indonesia kini juga semakin berkembang seiring dengan perubahan-perubahan trend, preference, dan behaviour konsumen,” ucapnya.

Dari sekian banyak pencapaian prestasi kerjanya, dua hal yang paling membekas. Pertama, ketika Hoki bekerja di PT. HM. Sampoerna Tbk. Kala itu, ia melakukan brand rejuvenation untuk produk Sampoerna Hijau. Salah satu produk yang sudah cukup tua, dengan range usia konsumen yang juga berusia cukup lanjut. Tantangannya adalah bagaimana agar banyak perokok muda yang mau memilih brand Sampoerna Hijau ini.

Hoki menciptakan ikon “geng ijo” dengan slogan “asyiknya rame-rame”. Konsep ini jitu untuk "me-muda-kan" usia brand Sampoerna Hijau sekaligus meningkatkan angka penjualan hingga 4x lipat

Kedua, pada saat Hokiono bergabung dengan Danone Dairy Indonesia sebagai head of marketing. Di sana, ia adalah karyawan nomor 2 urutan teratas setelah sang general manager, Eric Lam. “Dari tim kerja saya, Danone Dairy Indonesia lahir dan meluncurkan produk Milkuat,” ungkap penyuka makanan sate dan sushi ini.

Selanjutnya, Hokiono juga terlibat penuh sebagai pembuat konsep Milkuat. Mulai dari perihal produk (packaging, taste, ingredient, etc), promotion (communication concept), pricing, sampai dengan proses membuat business model untuk distribusinya rampung. Kurang dari 1 tahun sejak diluncurkan (2004), Milkuat sudah berhasil meraih market share 10%.

Ketika kini ia ditanya tentang perusahaan tempatnya bekerja, Hokiono juga memaparkan banyak hal tentang PT. Bintang Toedjoe. Bintang Toedjoe adalah perusahaan farmasi. Tentu saja semua produk Bintang Toedjoe harus dibuat sesuai dengan peraturan standar dari pemerintah melalui BPOM (Balai Pengawasan Obat dan Makanan). Satu diantaranya adalah CPOB (cara pembuatan obat yang baik/benar), sehingga semua produk Bintang Toedjoe terjamin secara kualitas. Beberapa diantaranya adalah Extrajoss, Bintangin, dan Irex.

Bintang Toedjoe sebenarnya bukanlah produsen obat-obatan tradisional (herbal), produk-produknya adalah obat-obatan modern (farmasi). Kesan tradisional muncul karena perusahaan ini memakai ejaan lama (Bintang Toedjoe) dan ada beberapa produk saat ini yang sudah dikeluarkan sejak perusahaan ini berdiri tahun 1946. Sebut saja, Puyer 16. Desain kemasannya pun masih mempertahankan desain lama sehingga terkesan kuno (tradisional).

Lepas dari kesibukannya, Arek Suroboyo yang menyukai musik dan traveling ini, selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku yang menarik.

“Sejak kecil saya sudah berkenalan dengan semua buku anak-anak saat itu. Karangan Enid Blyton saya sukai. Lima Sekawan, Sapta Siaga, dan Pasukan Mau Tau. Cerita detektif remaja seperti Hardy's Boys. Termasuk komik-komik DC dan Marvel,” kenangnya.

Sampai saat ini hampir semua topik buku ia baca. Selain buku-buku manajemen dan marketing yang dibacanya, ia juga membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Karl May, James Patterson, John Grisham, Tom Clancy, James Lee Burke, Robert Ludlum. Tidak ada satu pun buku favorit baginya. “Karena terlalu banyak buku yang isinya sangat bagus, memberikan pelajaran, dan pengetahuan bagi saya,” tutur lelaki yang usianya kini belum genap 37 tahun. Kegemaran lainnya yang tak sempat ditekuninya sekarang adalah melukis.

Jiwanya seperti petualang. Ia akan bekerja tak kenal waktu jika ada hal-hal baru yang ditemukan di profesi yang ia geluti. Satu hal yang selalu jadi triknya dalam bekerja adalah menjalani motto “work smarter, not harder.”

Keberhasilan yang telah ia capai hingga sekarang, tak pernah lepas dari dukungan orang-orang terdekat dalam hidupnya. “Orangtua saya adalah orang yang membentuk saya selama ini. Saya belajar banyak dari mereka bukan dari apa yang mereka katakan tetapi dari apa yang mereka tunjukkan,” ungkapnya.

Hidupnya menjadi lengkap. Kini, hari-harinya tak hanya penuh terisi dengan kesibukan dunia marketingnya. Ada istri yang dengan setia menjadi pendamping hidupnya. Hokiono mengungkap, “Istri saya adalah orang yang paling mengerti saya. Dia melengkapi dan menyeimbangkan hidup saya. Dia adalah teman terbaik dalam hidup saya.”

Date of published: May 26th 2008
Category: Feature Personal Profile
Content: Indonesian On The Go
Writer: Ayu N. Andini

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.indofamily.net