“Saya bukan perokok,” tegas Henny Susanto, Director of Brand Marketing PT. HM Sampoerna. Kecintaannya terhadap pekerjaannya membuatnya beroleh kecintaan dari perusahaan tempatnya bekerja. Setelah 12 tahun meniti karir di PT. HM. Sampoerna, kini ia telah mencapai kedudukan sebagai salah satu direktur di sana.
Profilnya cukup unik. Sebagai perempuan yang tidak merokok dan terjun bekerja menjadi brand marketing produk-produk rokok, kondisi ini sangat kontras. Sekitar tahun 1996, Henny mengawali karirnya di sana sebagai Associate Brand Manager di produk Sampoerna A Mild.
Pertama kali bekerja di sana, Sang Atasan mempertanyakan kondisi kontras ini. “Waktu itu, saya juga ditanya karena bukan perokok, bagaimana bisa memahami brand product nya?” kenangnya. Ia menceritakan, jawabannya cukup lugas. Menurutnya, kenali saja karakter konsumen. Tugasnya adalah untuk meyakinkan konsumen dan bukan untuk menjadi user/perokok.
“Jadi, tugas saya memang untuk meyakinkan konsumen bahwa mereka telah mendapatkan brand yang tepat. Pada prinsipnya, kami hanya memberikan berbagai pilihan terhadap perokok-perokok ini. Kami memberikan diferensiasi terhadap produk-produk ini. Saya ingin konsumen lebih cenderung milih produk rokok dari HM Sampoerna,” tuturnya panjang lebar.
Henny juga berbagi rahasia trik menjerat konsumen. Baginya, cara yang paling jitu adalah dengan menawarkan produk rokok yang sesuai dengan image/karakter yang diinginkan konsumen.
Karakter produk juga didukung penuh dengan program promo yang muncul di iklan-iklan layar televisi setiap hari. Dengan sasaran konsumen yang sangat beragam, kemasan iklan juga dibuat menarik.
“Jika itu menampilkan profil aktifitas sebuah komunitas, yang kami bidik adalah karakter yang dinamis, aktif, dan kekompakan team work nya. Maka, image produk yang punya spirit Indonesian Culture dan semangat kebersamaan harus dikomunikasikan,” katanya.
Dari riwayat karirnya selama 12 tahun di PT. HM. Sampoerna, Henny Susanto tak pernah mengenal kata: BERHENTI untuk selalu belajar dari orang-orang yang ada di sekitarnya termasuk belajar banyak dari para kompetitornya.
“Motivasi saya, ya nonstop learning. Tidak hanya dengan cara yang formal. Kalau saja ada waktu untuk saya bisa kembali kuliah dan baca buku lebih banyak, itu akan lebih baik lagi.”
Kini, ia bekerja membawahi sekitar 30 s/d 40 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Ibu dari Viko (9) dan Vessa (7) ini juga punya trik mendidik anak-anaknya, dan anak-anak buahnya.
Pendekatan yang dilakukan olehnya, hanya dengan cara mengenali mereka baik-baik. “Individu-individu itu masing-masing punya kebutuhan yang berbeda. Tapi jangan sampai ada anak emas. Kenali bahwa mereka punya strength, weekness, dan ambisi-ambisi. Untuk karyawan, saya juga selalu perhatikan cara kerja mereka masing-masing. Supaya mereka bisa berikan kontribusinya yang terbaik ke perusahaan,” ujar istri dari Andy Sunanta ini.
Sebagai brand marketing director, ia cukup sibuk mengurus brand yang ada di portfolio HM Sampoerna. Ada Sampoerna Hijau, Sampoerna A Mild, Djisamsoe, Marlboro, dan dari U Mild (sister company). Pekerjaan yang sangat dinamis. Tugas utamanya kini adalah mengelola tim kerjanya untuk menjaga ’kesehatan’ masing-masing brand.
Dalam hidupnya, ia punya target, “Saya ingin lebih menyeimbangkan lagi antara pekerjaan dan keluarga karena saya tahu, saya masih ‘hutang’ banyak kepada dua-duanya,” ujarnya sambil menutup percakapan.
Jumat, 01 Agustus 2008
Veronica Colondam, Perang Melawan Narkoba
“I think…Mother Theressa,” ucap Veronica Colondam, Chief of Executive Officer Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Mother Theressa, jadi tokoh panutannya selama ini. Dalam kepemimpinannya, YCAB telah menerima kepercayaan dari United Nations Office of Drug Control (UNODC) untuk menjadi koordinator NGO (Non Governvement Organization) yang bergerak dalam program pencegahan narkoba se-Asia Pasific.
Veronica Colondam, adalah pendiri sekaligus pemimpin YCAB sejak tahun 1999 hingga sekarang. Organisasi ini berjalan, berkembang, dan menjadi besar di bawah kepemimpinannya. Kiprah Veronica dalam usahanya mendukung Indonesia bebas dari narkoba telah menerima pengakuan dari beberapa lembaga dan orang penting skala nasional dan internasional.
Ketika ditanyakan perihal awal keterlibatannya dalam kegiatan sosial, ia mengaku semuanya diawali dari perasaan gelisahnya karena terus menerus dikejar berbagai pertanyaan.
“Meaning and purpose in my life. Hal dasar itulah yang kemudian menjadi problem pada saya. Sejak usia 20-an, saya merasa dikejar-kejar. Ini semua memang perjalanan spiritual saya,” akunya.
Keinginan yang kuat untuk ‘memberi’ kepada orang banyak, tepatnya mulai muncul ketika ia telah menjalani kehidupan mapan dalam rumah tangganya bersama suaminya, Pieter. “Pada saat umur 27 tahun waktu itu, saya udah punya anak. Saya ingin memberikan value added untuk hidup saya,” tegasnya.
Di usia 29 tahun, Veronica menjadi orang termuda yang pernah menerima Penghargaan PBB-Vienna Civil Society Awards (2001) dan Penghargaan Emas dari Badan Narkotika NAsional dari Kapolri dan Presiden Republik Indonesia tahun 2003.
Peraih gelar Master of Science dalam bidang Drug Policy and Intervention dari Imperial College – London dan The London School of Hygiene and Tropical Diseases, memaparkan bahwa 1 dari 10 anak usia 10 s/d 17 tahun di Indonesia, mengaku pernah mencoba narkoba.
Veronica menganalisa, “Dari paparan ini, ada jumlah yang mayoritas. Sisanya yang 9 orang itu bisa dijaga dan dicegah agar mereka jauh dari jangkauan narkoba.”
Program YCAB memang sangat spesifik. “Lebih banyak bergerak di area pencegahan,” ujarnya. Ia menuturkan, ada sekitar 35 juta anak di seluruh Indonesia sekarang. Ditargetkan, tahun ini program YCAB akan menjangkau 300.000 anak Indonesia. Program lainnya, mereka yang putus sekolah sebanyak 3.000 anak juga akan disekolahkan gratis.
Menurut perhitungan program yang akan dijalankan, untuk menjangkau sekitar 35 juta anak, dibutuhkan sekitar 150 tahun program, barulah semuanya rampung.
“Saya sendiri, berupaya mencari yayasan untuk jadi saingan YCAB agar program ini cepat rampung, itu juga cukup sulit,” ujar ibunda dari Philmon (13), Adelle (11), dan Joey (7).
Dari hasil penelitian para pakar dan pengalamannya selama ini, ia berpendapat bahwa penyebab terjeratnya anak-anak dan remaja menjadi pengguna dan pecandu narkoba didasari satu penyebab besar. “Karena mereka tidak punya dignity. Mereka tidak punya keagungan diri. Mereka merasa tak berharga, hingga berani bermain-main dengan hal-hal yang bisa merusak mereka. Ini adalah penyebab yang terpola secara tidak sadar.”
Penulis buku berjudul Raising DRUG-FREE Children ini juga menerapkan didikan tegas kepada anak-anaknya di rumah.
“Kepada mereka , saya terapkan bahwa sebagai ciptaan Tuhan dan sebagai makhluk yang paling mulia, maka mereka harus bertindak mulia dan merasa mulia,” ucapnya.
Date of published: June 3rd 2008
Category: Feature Personal Profile
Content: Indonesian On The Go.
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertamakali dipublikasikan di www.indofamily.net
Label:
Feature Personal Profile
Dyah Kartika, Tarik Ulur di Lapangan
“Jaman sekarang dimanapun kita berada, kita harus kuat,” ucap Dyah Kartika .N, Marketing Communication Manager PT. Softex Indonesia. Wanita karir yang satu ini, mengaku berkarakter perempuan Jawa jaman dulu yang tidak 'neko-neko'.
Pengalaman kerjanya sebagai tim promosi dan marketing product yang jempolan, tak lantas membuat dirinya melupakan adat Jawa yang mengalir kental dalam darahnya. Lahir dan tumbuh dari keluarga militer, juga membentuknya menjadi pribadi yang ulet dan disiplin.
Lulusan tahun 1992 Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan Hubungan Masyarakat IISIP Jakarta itu, mulai menggeluti bidang marketing sejak pertama kali bekerja di PT. Bayer Indonesia tahun 1993.
“Waktu itu, saya langsung duduk di tim promosi dan langsung harus menangani 150 orang sales promotion girl,” kenangnya. Ia juga mengaku, dari pengalaman itu ada banyak pelajaran baru yang ia peroleh. Menangani kinerja para ujung tombak ini, Dyah punya tips dan trik yang tak pernah ada di buku panduan manapun.
“Karena pengalaman yang saya peroleh di lapangan adalah panduan yang terbaik unutk belajar. Terus terang, saya tidak pernah mengacu ke buku panduan manapun unutk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di bidang kerja saya,” ungkapnya.
Di pengalaman kerja pertamanya, ia diserahi tanggungjawab sebagai area promotion manager untuk wilayah Jakarta. Bu Dyah, begitu ia akbrab dipanggil berbagi cerita, “Pimpinan saya orang Jerman, saya diminta keluar kota, bikin tim promosi. Mulai tidak ada tim sampai dengan menjadi tim yang bagus. Saya keliling Indonesia selama tahun 1994-1995.”
Menginjak tahun 1995, perusahaan tempatnya bekerja kemudian menjadikannya sebagai area sales manager. Di dunia sales Bu Dyah juga belajar lebih banyak tentang sales. Ia mengakui, bidang sales lebih unik lagi karena harus memahami produk-produk kompetitor juga.
Tahun 96, PT. Bayer Indonesia, terbagi dua. Lalu ia ditarik ke perusahaan yang memproduksi merk HIT. Terakhir di sana, ia menjabat sebagai national sales manager, sampai 2003. “Akhir Agustus 2003, saya pindah ke PT. Softex Indonesia sampai sekarang,” akunya.
Bu Dyah juga menangani sales promotion girl di sini. Kendala yang datang padanya, tak sebesar waktu pengalaman pertamanya dulu.
“Kultur dulu dan sekarang sudah beda. Dulu, ‘drive’ untuk mereka harus keras. Sekarang, saya harus pakai trik,” tegasnya.
Menurutnya, ia memimpin mereka seperti layangan. “Saat tertentu harus diulur, saat tertentu harus di tarik, sampai mereka dewasa dengan sendirinya,” ungkap Bu Dyah.
Ia menjelaskan, pada tahap pertama ia akan merepkan disiplin pada diri SPG nya (Sales Promotion Girl). “Mau dikatakan saya ini, ya galaklah. Tidak apa-apa," akunya sambil tersenyum.
dyah kartika2 Karena selama ini ia meyakini, bahwa selama disiplin itu sudah tertanam pada diri semua SPG nya, maka segala tugas SPGnya akan membuat grafik angka penjualan produk Softex meningkat.
“Kalau mereka sudah sangat ready di outlet, barulah saya ulur. Maksudnya, saya tidak akan memantau terlalu ketat kerja-kerja mereka. Tapi jika grafik penjualannya mulai kendor, saya akan mulai tegas lagi pada mereka,” tuturnya.
Anak dari Soetjipto Pramono, seorang guru besar di Persatuan Beladiri Dibya Indonesia (PBDI) Jakarta ini, punya target.
“Target dimanapun saya bekerja, saya harus lakukan yang terbaik supaya hasilnya juga menjadi yang terbaik,” ujarnya lugas.
Tak jarang, Bu Dyah juga lakukan “sidak” (inspeksi mendadak) ke lokasi kerja SPG nya di hari libur. Ia ingin, anggota tim kerjanya juga bisa paham tentang loyalitas kerja yang dijalaninya. Libur, tetap bekerja. Bahkan kadang anak-anaknya juga diajaknya turut serta ke sana. Ujarnya, “Saya juga ingin agar anak-anak saya paham dengan dunia kerja saya.” Dalam keluarga, ia mendapat dukungan penuh Max F. Roebert, sang suami tercinta.
Selama lima tahun di PT. Softex Indonesia, Bu Dyah menyatakan dirinya sebagai yang bukan ‘kutu loncat’. “Semua pekerjaan selalu saya tekuni dan lakukan sebaik-baiknya. Saya bukan sang kutu loncat yang karirnya ingin cepat dan gaji yang makin besar. Saya ini, cuma telaten. Itu saja,” aku ibu dari Patricia (9) dan Patrick Roebert (6) ini.
Ketika softex memutuskan kerjasama dengan banyak bidang, termasuk film dan beberapa media online, Bu Dyah berada dalam tim yang juga terlibat program campaign product. Tentang pengalamannya bergabung dengan tim marketing di sana, ia berpendapat, “Buat saya, ini ada seninya.”
Selain sebagai wanita karir yang tegas dan lugas, ia juga punya kegemaran olahraga yang kini tak sempat dijalaninya lagi. Sebagai pemegang ban hitam karate Jutsu dan penerus jalannya Pusdiklat PBDI Jakarta, ia mengaku menjadi pribadi yang berani dan sportif.
“Jika saya lakukan kesalahan, saya selalu sportif mengaku salah dan minta maaf langsung. Itu yang sampai kini melekat di diri saya,” akunya.
Date of published: May 29th 2008.
Category: Feature Personal Profile
Content: Indonesian On The Go.
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertamakali dipublikasikan di www.indofamily.net
Label:
Feature Personal Profile
Hokiono, Marketing Handal Indonesia
Penggemar buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer ini, adalah peraih First Winner Young Marketer Award 2003 yang dianugerahkan padanya dari Indonesia Marketing Association (IMA), SWA Magazine dan Markplus & Co. Kini, ia bekerja sebagai Deputy Director Marketing di PT. Bintang Toedjoe.
Pengalamannya sebagai pakar pemasaran dan branding product, tak diragukan lagi. Profesi yang dijalani selama 13 tahun, menoreh sejarah prestasinya 5 tahun yang lalu. Ketika itu, ia menjadi juara pertama Young Marketer Award 2003. Penghargaan ini diberikan pada Hokiono berkat kepiawaiannya menaikkan angka pemasaran produk Sampoerna Hijau yang kala itu mencapai peningkatan lebih dari 50%.
Ia mengungkapkan, bahwa keikutsertaan dirinya dalam ajang Young Marketing Award hanyalah untuk belajar banyak hal dan berbagi pengalaman dengan pemasar-pemasar industri lain. “Kalau akhirnya saya menang, itu adalah bonus. Tentu saja ada perasaan bangga karena hasil pekerjaaan saya dihargai tidak saja oleh internal perusahaan tetapi juga oleh dunia marketing Indonesia,” tuturnya.
Hokiono yang kerap dipanggil Pak Hoki, lahir dan menghabiskan masa remajanya di kota pahlawan, Surabaya. Tahun 1994 ia menyandang gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Surabaya.
Hoki mengenang masa lalunya, “Pada saat pertama kali bekerja pun saya menggeluti dunia finance dan accounting. Setelah setahun di bidang ini, saya mulai merasakan kejenuhan karena pekerjaannya yang rutin, berulang-ulang, dan setiap hari duduk di belakang meja.”
Dari kejenuhan ini, ia mulai melirik dunia periklanan yang cukup “subur” di beberapa stasiun televisi swasta. Ketertarikannya terhadap dunia marketing mulai tumbuh. Karena menurutnya dunia marketing melalui periklanan sangat dinamis dan kreatif.
Tahun 1995, ia memberanikan diri melamar pekerjaan ke PT. HM. Sampoerna Tbk. sebagai brand assistant. Di sanalah, ia menapakkan karir pertamanya di dunia marketing dan menikmatinya hingga sekarang. Usianya kini belum genap 37 tahun.
“Tidak terasa 13 tahun saya sudah menggeluti bidang ini. Dunia marketing Indonesia kini juga semakin berkembang seiring dengan perubahan-perubahan trend, preference, dan behaviour konsumen,” ucapnya.
Dari sekian banyak pencapaian prestasi kerjanya, dua hal yang paling membekas. Pertama, ketika Hoki bekerja di PT. HM. Sampoerna Tbk. Kala itu, ia melakukan brand rejuvenation untuk produk Sampoerna Hijau. Salah satu produk yang sudah cukup tua, dengan range usia konsumen yang juga berusia cukup lanjut. Tantangannya adalah bagaimana agar banyak perokok muda yang mau memilih brand Sampoerna Hijau ini.
Hoki menciptakan ikon “geng ijo” dengan slogan “asyiknya rame-rame”. Konsep ini jitu untuk "me-muda-kan" usia brand Sampoerna Hijau sekaligus meningkatkan angka penjualan hingga 4x lipat
Kedua, pada saat Hokiono bergabung dengan Danone Dairy Indonesia sebagai head of marketing. Di sana, ia adalah karyawan nomor 2 urutan teratas setelah sang general manager, Eric Lam. “Dari tim kerja saya, Danone Dairy Indonesia lahir dan meluncurkan produk Milkuat,” ungkap penyuka makanan sate dan sushi ini.
Selanjutnya, Hokiono juga terlibat penuh sebagai pembuat konsep Milkuat. Mulai dari perihal produk (packaging, taste, ingredient, etc), promotion (communication concept), pricing, sampai dengan proses membuat business model untuk distribusinya rampung. Kurang dari 1 tahun sejak diluncurkan (2004), Milkuat sudah berhasil meraih market share 10%.
Ketika kini ia ditanya tentang perusahaan tempatnya bekerja, Hokiono juga memaparkan banyak hal tentang PT. Bintang Toedjoe. Bintang Toedjoe adalah perusahaan farmasi. Tentu saja semua produk Bintang Toedjoe harus dibuat sesuai dengan peraturan standar dari pemerintah melalui BPOM (Balai Pengawasan Obat dan Makanan). Satu diantaranya adalah CPOB (cara pembuatan obat yang baik/benar), sehingga semua produk Bintang Toedjoe terjamin secara kualitas. Beberapa diantaranya adalah Extrajoss, Bintangin, dan Irex.
Bintang Toedjoe sebenarnya bukanlah produsen obat-obatan tradisional (herbal), produk-produknya adalah obat-obatan modern (farmasi). Kesan tradisional muncul karena perusahaan ini memakai ejaan lama (Bintang Toedjoe) dan ada beberapa produk saat ini yang sudah dikeluarkan sejak perusahaan ini berdiri tahun 1946. Sebut saja, Puyer 16. Desain kemasannya pun masih mempertahankan desain lama sehingga terkesan kuno (tradisional).
Lepas dari kesibukannya, Arek Suroboyo yang menyukai musik dan traveling ini, selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku yang menarik.
“Sejak kecil saya sudah berkenalan dengan semua buku anak-anak saat itu. Karangan Enid Blyton saya sukai. Lima Sekawan, Sapta Siaga, dan Pasukan Mau Tau. Cerita detektif remaja seperti Hardy's Boys. Termasuk komik-komik DC dan Marvel,” kenangnya.
Sampai saat ini hampir semua topik buku ia baca. Selain buku-buku manajemen dan marketing yang dibacanya, ia juga membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Karl May, James Patterson, John Grisham, Tom Clancy, James Lee Burke, Robert Ludlum. Tidak ada satu pun buku favorit baginya. “Karena terlalu banyak buku yang isinya sangat bagus, memberikan pelajaran, dan pengetahuan bagi saya,” tutur lelaki yang usianya kini belum genap 37 tahun. Kegemaran lainnya yang tak sempat ditekuninya sekarang adalah melukis.
Jiwanya seperti petualang. Ia akan bekerja tak kenal waktu jika ada hal-hal baru yang ditemukan di profesi yang ia geluti. Satu hal yang selalu jadi triknya dalam bekerja adalah menjalani motto “work smarter, not harder.”
Keberhasilan yang telah ia capai hingga sekarang, tak pernah lepas dari dukungan orang-orang terdekat dalam hidupnya. “Orangtua saya adalah orang yang membentuk saya selama ini. Saya belajar banyak dari mereka bukan dari apa yang mereka katakan tetapi dari apa yang mereka tunjukkan,” ungkapnya.
Hidupnya menjadi lengkap. Kini, hari-harinya tak hanya penuh terisi dengan kesibukan dunia marketingnya. Ada istri yang dengan setia menjadi pendamping hidupnya. Hokiono mengungkap, “Istri saya adalah orang yang paling mengerti saya. Dia melengkapi dan menyeimbangkan hidup saya. Dia adalah teman terbaik dalam hidup saya.”
Date of published: May 26th 2008
Category: Feature Personal Profile
Content: Indonesian On The Go
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.indofamily.net
Pengalamannya sebagai pakar pemasaran dan branding product, tak diragukan lagi. Profesi yang dijalani selama 13 tahun, menoreh sejarah prestasinya 5 tahun yang lalu. Ketika itu, ia menjadi juara pertama Young Marketer Award 2003. Penghargaan ini diberikan pada Hokiono berkat kepiawaiannya menaikkan angka pemasaran produk Sampoerna Hijau yang kala itu mencapai peningkatan lebih dari 50%.
Ia mengungkapkan, bahwa keikutsertaan dirinya dalam ajang Young Marketing Award hanyalah untuk belajar banyak hal dan berbagi pengalaman dengan pemasar-pemasar industri lain. “Kalau akhirnya saya menang, itu adalah bonus. Tentu saja ada perasaan bangga karena hasil pekerjaaan saya dihargai tidak saja oleh internal perusahaan tetapi juga oleh dunia marketing Indonesia,” tuturnya.
Hokiono yang kerap dipanggil Pak Hoki, lahir dan menghabiskan masa remajanya di kota pahlawan, Surabaya. Tahun 1994 ia menyandang gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Surabaya.
Hoki mengenang masa lalunya, “Pada saat pertama kali bekerja pun saya menggeluti dunia finance dan accounting. Setelah setahun di bidang ini, saya mulai merasakan kejenuhan karena pekerjaannya yang rutin, berulang-ulang, dan setiap hari duduk di belakang meja.”
Dari kejenuhan ini, ia mulai melirik dunia periklanan yang cukup “subur” di beberapa stasiun televisi swasta. Ketertarikannya terhadap dunia marketing mulai tumbuh. Karena menurutnya dunia marketing melalui periklanan sangat dinamis dan kreatif.
Tahun 1995, ia memberanikan diri melamar pekerjaan ke PT. HM. Sampoerna Tbk. sebagai brand assistant. Di sanalah, ia menapakkan karir pertamanya di dunia marketing dan menikmatinya hingga sekarang. Usianya kini belum genap 37 tahun.
“Tidak terasa 13 tahun saya sudah menggeluti bidang ini. Dunia marketing Indonesia kini juga semakin berkembang seiring dengan perubahan-perubahan trend, preference, dan behaviour konsumen,” ucapnya.
Dari sekian banyak pencapaian prestasi kerjanya, dua hal yang paling membekas. Pertama, ketika Hoki bekerja di PT. HM. Sampoerna Tbk. Kala itu, ia melakukan brand rejuvenation untuk produk Sampoerna Hijau. Salah satu produk yang sudah cukup tua, dengan range usia konsumen yang juga berusia cukup lanjut. Tantangannya adalah bagaimana agar banyak perokok muda yang mau memilih brand Sampoerna Hijau ini.
Hoki menciptakan ikon “geng ijo” dengan slogan “asyiknya rame-rame”. Konsep ini jitu untuk "me-muda-kan" usia brand Sampoerna Hijau sekaligus meningkatkan angka penjualan hingga 4x lipat
Kedua, pada saat Hokiono bergabung dengan Danone Dairy Indonesia sebagai head of marketing. Di sana, ia adalah karyawan nomor 2 urutan teratas setelah sang general manager, Eric Lam. “Dari tim kerja saya, Danone Dairy Indonesia lahir dan meluncurkan produk Milkuat,” ungkap penyuka makanan sate dan sushi ini.
Selanjutnya, Hokiono juga terlibat penuh sebagai pembuat konsep Milkuat. Mulai dari perihal produk (packaging, taste, ingredient, etc), promotion (communication concept), pricing, sampai dengan proses membuat business model untuk distribusinya rampung. Kurang dari 1 tahun sejak diluncurkan (2004), Milkuat sudah berhasil meraih market share 10%.
Ketika kini ia ditanya tentang perusahaan tempatnya bekerja, Hokiono juga memaparkan banyak hal tentang PT. Bintang Toedjoe. Bintang Toedjoe adalah perusahaan farmasi. Tentu saja semua produk Bintang Toedjoe harus dibuat sesuai dengan peraturan standar dari pemerintah melalui BPOM (Balai Pengawasan Obat dan Makanan). Satu diantaranya adalah CPOB (cara pembuatan obat yang baik/benar), sehingga semua produk Bintang Toedjoe terjamin secara kualitas. Beberapa diantaranya adalah Extrajoss, Bintangin, dan Irex.
Bintang Toedjoe sebenarnya bukanlah produsen obat-obatan tradisional (herbal), produk-produknya adalah obat-obatan modern (farmasi). Kesan tradisional muncul karena perusahaan ini memakai ejaan lama (Bintang Toedjoe) dan ada beberapa produk saat ini yang sudah dikeluarkan sejak perusahaan ini berdiri tahun 1946. Sebut saja, Puyer 16. Desain kemasannya pun masih mempertahankan desain lama sehingga terkesan kuno (tradisional).
Lepas dari kesibukannya, Arek Suroboyo yang menyukai musik dan traveling ini, selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku yang menarik.
“Sejak kecil saya sudah berkenalan dengan semua buku anak-anak saat itu. Karangan Enid Blyton saya sukai. Lima Sekawan, Sapta Siaga, dan Pasukan Mau Tau. Cerita detektif remaja seperti Hardy's Boys. Termasuk komik-komik DC dan Marvel,” kenangnya.
Sampai saat ini hampir semua topik buku ia baca. Selain buku-buku manajemen dan marketing yang dibacanya, ia juga membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Karl May, James Patterson, John Grisham, Tom Clancy, James Lee Burke, Robert Ludlum. Tidak ada satu pun buku favorit baginya. “Karena terlalu banyak buku yang isinya sangat bagus, memberikan pelajaran, dan pengetahuan bagi saya,” tutur lelaki yang usianya kini belum genap 37 tahun. Kegemaran lainnya yang tak sempat ditekuninya sekarang adalah melukis.
Jiwanya seperti petualang. Ia akan bekerja tak kenal waktu jika ada hal-hal baru yang ditemukan di profesi yang ia geluti. Satu hal yang selalu jadi triknya dalam bekerja adalah menjalani motto “work smarter, not harder.”
Keberhasilan yang telah ia capai hingga sekarang, tak pernah lepas dari dukungan orang-orang terdekat dalam hidupnya. “Orangtua saya adalah orang yang membentuk saya selama ini. Saya belajar banyak dari mereka bukan dari apa yang mereka katakan tetapi dari apa yang mereka tunjukkan,” ungkapnya.
Hidupnya menjadi lengkap. Kini, hari-harinya tak hanya penuh terisi dengan kesibukan dunia marketingnya. Ada istri yang dengan setia menjadi pendamping hidupnya. Hokiono mengungkap, “Istri saya adalah orang yang paling mengerti saya. Dia melengkapi dan menyeimbangkan hidup saya. Dia adalah teman terbaik dalam hidup saya.”
Date of published: May 26th 2008
Category: Feature Personal Profile
Content: Indonesian On The Go
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.indofamily.net
Label:
Feature Personal Profile
Kamis, 31 Juli 2008
Kegelisahan di Seputar Global Warming
Hasil pertanian dikhawatirkan akan sering mengecewakan, gletser di Kutub Utara semakin banyak yang mencair, suhu bumi makin panas, bencana alam akan sering terjadi, dan dicemaskan pula beberapa jenis hewan akan punah. Sekelumit kegelisahan ini adalah definisi pendek dari global warming.
Sebenarnya, sejak tahun 2000-an, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di Jakarta telah banyak bersuara tentang pemanasan global (global warming). Sangat disayangkan, tulisan-tulisan tentang hal itu hanya mereka publikasikan dalam majalah internal instansi mereka. Inspirasi ini kurang meluas ke publik.
Di penghujung 2007 lalu, berbondong-bondong para ilmuwan dan pejabat penting dari berbagai penjuru dunia datang ke Bali menggodog kegelisahan mereka tentang hal yang sama. Berbagai LSM lingkungan, menyuarakan kegelisahan mereka. Berbagai media massa juga datang meliput. Catatan peristiwanya dalam beberapa hari menjadi headline di koran-koran.
Apakah kegelisahan ini menular luas kepada kita? Untuk jawaban khusus dari Indonesia, mungkin masyarakat kita masih terlalu repot dengan masalah penanggulangan banjir, tanah longsor, busung lapar, dan buta huruf. Prioritas tentang global warming bisa jadi urutan paling bawah dari sekian banyak kerumitan kehidupan sehari-hari.
Padahal, ilmuwan-ilmuwan ini bicara banyak sebagai wakil dari suara kegelisahan negaranya masing-masing. KTT Iklim yang berlangsung selama dua minggu di Bali pada awal Desember 2007 lalu, diikuti oleh delegasi hampir dari 190 negara di dunia. Tujuan utama sesungguhnya adalah membujuk Amerika Serikat untuk menyetujui pengurangan emisi karbon dioksida dan efek-efek rumah kaca lainnya.
Walaupun delegasi Amerika Serikat menyatakan tidak ada halangan untuk menandatangai perjanjian emisi, Washington tetap menolak untuk mendukung upaya banyak negara lain, seperti pengurangan emisi oleh negara-negara kaya dan berusaha membatasi peningkatan temperatur global.
Posisi Amerika Serikat agak terpojok ketika Perdana Menteri Australia yang baru, menandatangi ratifikasi pakta iklim Kyoto Protocol. Langkah ini membuat Amerika Serikat, pemasok utama efek-efek rumah kaca dan emisi gas menjadi satu-satunya negara yang tidak mau meratifikasi pakta iklim tersebut.
Pemimpin KTT Iklim mendesak para delegasi untuk segera memerangi perubahan iklim global. "The eyes of the world are upon you. There is a huge responsibility for Bali to deliver," kata Yvo de Boer, Sekjen KTT Iklim.
KTT Iklim di Bali jadi global momentum untuk menarik action yang dramatis untuk menghentikan perubahan temperatur dunia (global warming) yang dikatakan para ilmuwan dapat berdampak tenggelamnya pantai dan pulau-pulau oleh samudra, melenyapkan spesies-spesies, menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan memicu bencana alam.
KTT iklim Bali adalah KTT pertama sejak mantan wapres Amerika Serikat Al Gore dan dewan ilmiah PBB memenangkan hadiah Nobel di bulan Oktober 2007 lalu untuk jasa-jasa mereka terhadap lingkungan hidup.
Tujuan jangka pendek adalah negosiasi menuju sebuah pakta baru untuk menggantikan Kyoto Protocol yang akan habis masa berlakunya pada tahun 2012, merencanakan agenda dan batas waktu untuk pembicaraan lebih lanjut. PBB mengharapkan protokol baru segera dibicarakan sebelum tahun 2009 agar dapat menggantikan protokol Kyoto pada waktunya.
Kilas Balik Protokol Kyoto
Kerjasama internasional diperlukan untuk menyukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menerjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 % di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 % di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 %; dan Jepang 6 %. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Menginjak tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal komitmennya dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 % dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada tahun 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan dan metode serta sanksi yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negosiator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain.
Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda. Negara ini dapat membeli kredit polusi di pasar yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 % di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
Monday, February 26th 2008.
Category: Headline News
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com
Sebenarnya, sejak tahun 2000-an, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di Jakarta telah banyak bersuara tentang pemanasan global (global warming). Sangat disayangkan, tulisan-tulisan tentang hal itu hanya mereka publikasikan dalam majalah internal instansi mereka. Inspirasi ini kurang meluas ke publik.
Di penghujung 2007 lalu, berbondong-bondong para ilmuwan dan pejabat penting dari berbagai penjuru dunia datang ke Bali menggodog kegelisahan mereka tentang hal yang sama. Berbagai LSM lingkungan, menyuarakan kegelisahan mereka. Berbagai media massa juga datang meliput. Catatan peristiwanya dalam beberapa hari menjadi headline di koran-koran.
Apakah kegelisahan ini menular luas kepada kita? Untuk jawaban khusus dari Indonesia, mungkin masyarakat kita masih terlalu repot dengan masalah penanggulangan banjir, tanah longsor, busung lapar, dan buta huruf. Prioritas tentang global warming bisa jadi urutan paling bawah dari sekian banyak kerumitan kehidupan sehari-hari.
Padahal, ilmuwan-ilmuwan ini bicara banyak sebagai wakil dari suara kegelisahan negaranya masing-masing. KTT Iklim yang berlangsung selama dua minggu di Bali pada awal Desember 2007 lalu, diikuti oleh delegasi hampir dari 190 negara di dunia. Tujuan utama sesungguhnya adalah membujuk Amerika Serikat untuk menyetujui pengurangan emisi karbon dioksida dan efek-efek rumah kaca lainnya.
Walaupun delegasi Amerika Serikat menyatakan tidak ada halangan untuk menandatangai perjanjian emisi, Washington tetap menolak untuk mendukung upaya banyak negara lain, seperti pengurangan emisi oleh negara-negara kaya dan berusaha membatasi peningkatan temperatur global.
Posisi Amerika Serikat agak terpojok ketika Perdana Menteri Australia yang baru, menandatangi ratifikasi pakta iklim Kyoto Protocol. Langkah ini membuat Amerika Serikat, pemasok utama efek-efek rumah kaca dan emisi gas menjadi satu-satunya negara yang tidak mau meratifikasi pakta iklim tersebut.
Pemimpin KTT Iklim mendesak para delegasi untuk segera memerangi perubahan iklim global. "The eyes of the world are upon you. There is a huge responsibility for Bali to deliver," kata Yvo de Boer, Sekjen KTT Iklim.
KTT Iklim di Bali jadi global momentum untuk menarik action yang dramatis untuk menghentikan perubahan temperatur dunia (global warming) yang dikatakan para ilmuwan dapat berdampak tenggelamnya pantai dan pulau-pulau oleh samudra, melenyapkan spesies-spesies, menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan memicu bencana alam.
KTT iklim Bali adalah KTT pertama sejak mantan wapres Amerika Serikat Al Gore dan dewan ilmiah PBB memenangkan hadiah Nobel di bulan Oktober 2007 lalu untuk jasa-jasa mereka terhadap lingkungan hidup.
Tujuan jangka pendek adalah negosiasi menuju sebuah pakta baru untuk menggantikan Kyoto Protocol yang akan habis masa berlakunya pada tahun 2012, merencanakan agenda dan batas waktu untuk pembicaraan lebih lanjut. PBB mengharapkan protokol baru segera dibicarakan sebelum tahun 2009 agar dapat menggantikan protokol Kyoto pada waktunya.
Kilas Balik Protokol Kyoto
Kerjasama internasional diperlukan untuk menyukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menerjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 % di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 % di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 %; dan Jepang 6 %. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Menginjak tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal komitmennya dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 % dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada tahun 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan dan metode serta sanksi yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negosiator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain.
Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda. Negara ini dapat membeli kredit polusi di pasar yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 % di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
Monday, February 26th 2008.
Category: Headline News
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com
Hari Berkebaya Nasional
Indonesia punya pahlawan nasional perempuan yang sangat populer. Tak ada yang tak kenal Raden Ajeng Kartini. Hari lahirnya tanggal 21 April, kerap diperingati di negeri ini dengan pawai busana kebaya dan kain batik, lengkap dengan sanggulnya. Pemandangannya memang jadi sangat menarik. Lha,…ini Hari Kartini atau Hari Kebaya, ya? Itu pertanyaan saya ketika 21 tahun yang lalu harus ikut lomba berbusana kebaya Hari Kartini di sekolah dasar di wilayah timur Kalimantan.
Bahkan minggu lalu, di daerah Solo ada sebuah kegiatan senam aerobic yang digelar dini hari. Peserta senamnya juga mengenakan kebaya lengkap dengan kain batik, minus sanggul dan riasannya. Filosofi kebaya sebagai busana perempuan Indonesia malah jadi bias. Jangan-jangan nanti malah ada lomba lari (sprint) di Hari Kartini dan pesertanya harus pakai baju kebaya. Lucu, tapi malah jadi dagelan.
Begitu lekatnya image Kartini dengan Kebaya. Identitas perempuan Indonesia secara fisik seperti digambarkan pada setiap peringatan Hari Kartini. Mereka dipaparkan sebagai yang anggun, lembut, berkebaya, berkonde, dan berjalan sangat pelan (tak bisa berjalan dengan langkah yang lebar karena lebar kain yang menjaga tiap langkah menjadi sangat pendek). Wow!!! Orang-orang bule pasti sangat tertarik dengan pemandangan seperti itu karena di negaranya tak ada perempuan berkonde, berkebaya, dan berjalan sangat pelan. Kalau pun ada, mungkin sedang menuntun kakek atau neneknya jalan-jalan pagi.
Kebiasaan memperingati Hari Kartini dengan berkebaya kemana-mana, jadi pemandangan khas. Perempuan-perempuan justru tampil lebih cantik daripada hari-hari biasanya. Hari berkebaya nasional ini juga bikin orang-orang repot pergi ke salon terbaik untuk menata riasan berkebayanya. Rampung urusan penampilan, mereka juga mendokumentasikan momen tak biasa ini. Potret sana, potret sini.
Ngomong-ngomong tentang potret, saya jadi teringat peristiwa ketika bertemu dengan pemimpin umum sebuah majalah perempuan yang terkenal di negeri ini. Dia, pria yang sudah tak muda lagi. Usianya bahkan sudah mencapai 70 tahun. Ketika saya tanya, apa rahasianya agar majalahnya bisa bertahan puluhan tahun tanpa pernah dicekal dan tanpa pernah berhenti naik cetak, ia menjawab dengan menunjuk ke arah belakang punggung saya.
“Coba lihat dibelakangmu,” katanya. Di belakang tempat saya duduk, ada sebuah potret yang cukup besar, berpigura kayu. Potret perempuan berwajah ayu, berkebaya lengkap dengan sanggulnya. Itu potret RA. Kartini.
“Kami ingin memberikan yang terbaik untuk perempuan Indonesia seperti yang pernah RA. Kartini berikan waktu dulu,” ucapnya. Maksudnya, tentu saja tak sama dengan semangat dan mimpi RA. Kartini tempo dulu (walaupun nama majalahnya sama dengan nama pahlawan nasional ini). Intinya, mereka akan memberikan harga yang paling cocok per eksemplarnya, dengan isi yang juga cocok dengan kegemaran perempuan Indonesia. Misalnya, kisah-kisah sejati para perempuan yang berjuang melawan penyakit mematikan, perjuangan perempuan dalam menghadapi saat-saat genting dalam rumah tangga, perjuangan perempuan di dapur alias mencoba resep-resep masakan menarik di dalam majalahnya.
Ucapannya itu, membuat pikiran saya seperti melompat ke jaman RA. Kartini ketika mendirikan sekolah perempuan di daerahnya pada tahun 1903 di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka di Kabupaten Rembang. Perempuan rakyat jelata bersekolah, bisa membaca dan menulis? Hal ini masih dianggap tidak mungkin. Sampai pada akhirnya, sekolah itu benar-benar ada. Sampai pada akhirnya, Kartini benar-benar mengajarkan semua murid perempuannya di sana. Sayangnya, kegiatan ini tak berlangsung lama. Kartini keburu dipaksa menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya. Bagaimana nasib sekolah itu? Tak ada perempuan di sana yang meneruskan. Impian Kartini, cuma wujud sebentar. Mimpinya sebagai perempuan sejati, juga terpaksa hilang. Ia meninggal dunia tahun 1904 (pada usia25 tahun) setelah melahirkan anak pertamanya. Kartini bahkan tak sempat mengalami masa indahnya sebagai ibu bagi keluarganya sendiri.
Kala itu, Indonesia tentu saja belum mengenal program Ayah Siaga yang setiap bulan harus rutin mengantar istrinya yang sedang hamil untuk periksa kesehatan kehamilannya ke pusat kesehatan masyarakat. Jauh! Nyawa RA Kartini tak bisa diselamatkan karena ia mengalami pendarahan ketika melahirkan. Yang Kartini pikirkan waktu itu baru satu hal: pendidikan bagi kaum perempuan.
Belum sampai pada masalah kesehatan. Untuk masalah pendidikan bagi kaum perempuan, nun di wilayah Jawa Barat sana ada seorang perempuan yang telah mewujudkannya lebih dulu daripada RA Kartini. Dia adalah Dewi Sartika. Fakta sejarah mencatat bahwa perempuan kelahiran Bandung, 4 Desember 1884 itu adalah perintis pendidikan untuk kaum perempuan yang pertama di Indonesia.
Menurut catatan sejarah, tahun 1894 wilayah Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu. Belakangan, diketahui bahwa yang membuat anak-anak pembantu kepatihan itu menjadi pandai membaca dan menulis adalah Dewi Sartika. Ketika itu, usianya baru menginjak 10 tahun.
Anak keturunan bangsawan tanah Sunda ini kerap bermain di belakang gedung kepatihan. Sambil bermain, ia memperagakan praktik mengajar yang ia lihat dari gurunya. Dewi Sartika pun mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Pada tahun 1909, sekolah ini telah meluluskan angkatan pertamanya. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal pada saat itu.
Dalam perkembangannya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan Sakola Istri-Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota dan kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh Sakola Istri tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Entah kenapa, sejarahnya sebagai perintis pendidikan bagi kaum perempuan memang kalah populer dibanding dengan RA Kartini. Padahal RA Kartini cuma dikenal lewat arsip-sarsip surat menyuratnya dengan sahabatnya (Estelle Zeehandelaar) di negeri kincir angin itu.
Bukan karena gerakan pendidikannya yang hanya sebentar, melainkan karena terungkapnya pikiran-pikiran RA. Kartini dalam memandang dirinya dan hidupnya.Saya tak mengenal RA Kartini dan Dewi Sartika dengan baik. Mereka hanya saya kenal dari catatan-catatan sejarah di negeri ini. Tokoh perempuan yang pertama kali saya kenal di dunia ini adalah ibu saya sendiri. Dia juga tokoh pendidik terbaik bagi keluarga kami. Ibuku adalah guruku yang pertama. Kata-kata pertama yang dia ajarkan pada saya adalah nama panggilannya.
Ibu adalah orang pertama yang dari dalam rahimnya ia memberi kehidupan bagi kami, anak-anaknya. Perjuangannya sebagai ibu rumah tangga memang tidak akan pernah tercatat di buku sejarah manapun. Dari banyak tokoh-tokoh sejarah kaum perempuan, yang saya kenal dengan baik hanya ibu saya. Karena kasih sayang dan doa-doanya di sepanjang jalan hidup saya. Maka bagi saya, ucapan Selamat memperingati Hari Kartini diperuntukkan kepada semua perempuan Indonesia (yang berkebaya dan yang tidak berkebaya).
Wednesday, April 21st 2008.
Category: Features
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com
Bahkan minggu lalu, di daerah Solo ada sebuah kegiatan senam aerobic yang digelar dini hari. Peserta senamnya juga mengenakan kebaya lengkap dengan kain batik, minus sanggul dan riasannya. Filosofi kebaya sebagai busana perempuan Indonesia malah jadi bias. Jangan-jangan nanti malah ada lomba lari (sprint) di Hari Kartini dan pesertanya harus pakai baju kebaya. Lucu, tapi malah jadi dagelan.
Begitu lekatnya image Kartini dengan Kebaya. Identitas perempuan Indonesia secara fisik seperti digambarkan pada setiap peringatan Hari Kartini. Mereka dipaparkan sebagai yang anggun, lembut, berkebaya, berkonde, dan berjalan sangat pelan (tak bisa berjalan dengan langkah yang lebar karena lebar kain yang menjaga tiap langkah menjadi sangat pendek). Wow!!! Orang-orang bule pasti sangat tertarik dengan pemandangan seperti itu karena di negaranya tak ada perempuan berkonde, berkebaya, dan berjalan sangat pelan. Kalau pun ada, mungkin sedang menuntun kakek atau neneknya jalan-jalan pagi.
Kebiasaan memperingati Hari Kartini dengan berkebaya kemana-mana, jadi pemandangan khas. Perempuan-perempuan justru tampil lebih cantik daripada hari-hari biasanya. Hari berkebaya nasional ini juga bikin orang-orang repot pergi ke salon terbaik untuk menata riasan berkebayanya. Rampung urusan penampilan, mereka juga mendokumentasikan momen tak biasa ini. Potret sana, potret sini.
Ngomong-ngomong tentang potret, saya jadi teringat peristiwa ketika bertemu dengan pemimpin umum sebuah majalah perempuan yang terkenal di negeri ini. Dia, pria yang sudah tak muda lagi. Usianya bahkan sudah mencapai 70 tahun. Ketika saya tanya, apa rahasianya agar majalahnya bisa bertahan puluhan tahun tanpa pernah dicekal dan tanpa pernah berhenti naik cetak, ia menjawab dengan menunjuk ke arah belakang punggung saya.
“Coba lihat dibelakangmu,” katanya. Di belakang tempat saya duduk, ada sebuah potret yang cukup besar, berpigura kayu. Potret perempuan berwajah ayu, berkebaya lengkap dengan sanggulnya. Itu potret RA. Kartini.
“Kami ingin memberikan yang terbaik untuk perempuan Indonesia seperti yang pernah RA. Kartini berikan waktu dulu,” ucapnya. Maksudnya, tentu saja tak sama dengan semangat dan mimpi RA. Kartini tempo dulu (walaupun nama majalahnya sama dengan nama pahlawan nasional ini). Intinya, mereka akan memberikan harga yang paling cocok per eksemplarnya, dengan isi yang juga cocok dengan kegemaran perempuan Indonesia. Misalnya, kisah-kisah sejati para perempuan yang berjuang melawan penyakit mematikan, perjuangan perempuan dalam menghadapi saat-saat genting dalam rumah tangga, perjuangan perempuan di dapur alias mencoba resep-resep masakan menarik di dalam majalahnya.
Ucapannya itu, membuat pikiran saya seperti melompat ke jaman RA. Kartini ketika mendirikan sekolah perempuan di daerahnya pada tahun 1903 di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka di Kabupaten Rembang. Perempuan rakyat jelata bersekolah, bisa membaca dan menulis? Hal ini masih dianggap tidak mungkin. Sampai pada akhirnya, sekolah itu benar-benar ada. Sampai pada akhirnya, Kartini benar-benar mengajarkan semua murid perempuannya di sana. Sayangnya, kegiatan ini tak berlangsung lama. Kartini keburu dipaksa menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya. Bagaimana nasib sekolah itu? Tak ada perempuan di sana yang meneruskan. Impian Kartini, cuma wujud sebentar. Mimpinya sebagai perempuan sejati, juga terpaksa hilang. Ia meninggal dunia tahun 1904 (pada usia25 tahun) setelah melahirkan anak pertamanya. Kartini bahkan tak sempat mengalami masa indahnya sebagai ibu bagi keluarganya sendiri.
Kala itu, Indonesia tentu saja belum mengenal program Ayah Siaga yang setiap bulan harus rutin mengantar istrinya yang sedang hamil untuk periksa kesehatan kehamilannya ke pusat kesehatan masyarakat. Jauh! Nyawa RA Kartini tak bisa diselamatkan karena ia mengalami pendarahan ketika melahirkan. Yang Kartini pikirkan waktu itu baru satu hal: pendidikan bagi kaum perempuan.
Belum sampai pada masalah kesehatan. Untuk masalah pendidikan bagi kaum perempuan, nun di wilayah Jawa Barat sana ada seorang perempuan yang telah mewujudkannya lebih dulu daripada RA Kartini. Dia adalah Dewi Sartika. Fakta sejarah mencatat bahwa perempuan kelahiran Bandung, 4 Desember 1884 itu adalah perintis pendidikan untuk kaum perempuan yang pertama di Indonesia.
Menurut catatan sejarah, tahun 1894 wilayah Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu. Belakangan, diketahui bahwa yang membuat anak-anak pembantu kepatihan itu menjadi pandai membaca dan menulis adalah Dewi Sartika. Ketika itu, usianya baru menginjak 10 tahun.
Anak keturunan bangsawan tanah Sunda ini kerap bermain di belakang gedung kepatihan. Sambil bermain, ia memperagakan praktik mengajar yang ia lihat dari gurunya. Dewi Sartika pun mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Pada tahun 1909, sekolah ini telah meluluskan angkatan pertamanya. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal pada saat itu.
Dalam perkembangannya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan Sakola Istri-Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota dan kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh Sakola Istri tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Entah kenapa, sejarahnya sebagai perintis pendidikan bagi kaum perempuan memang kalah populer dibanding dengan RA Kartini. Padahal RA Kartini cuma dikenal lewat arsip-sarsip surat menyuratnya dengan sahabatnya (Estelle Zeehandelaar) di negeri kincir angin itu.
Bukan karena gerakan pendidikannya yang hanya sebentar, melainkan karena terungkapnya pikiran-pikiran RA. Kartini dalam memandang dirinya dan hidupnya.Saya tak mengenal RA Kartini dan Dewi Sartika dengan baik. Mereka hanya saya kenal dari catatan-catatan sejarah di negeri ini. Tokoh perempuan yang pertama kali saya kenal di dunia ini adalah ibu saya sendiri. Dia juga tokoh pendidik terbaik bagi keluarga kami. Ibuku adalah guruku yang pertama. Kata-kata pertama yang dia ajarkan pada saya adalah nama panggilannya.
Ibu adalah orang pertama yang dari dalam rahimnya ia memberi kehidupan bagi kami, anak-anaknya. Perjuangannya sebagai ibu rumah tangga memang tidak akan pernah tercatat di buku sejarah manapun. Dari banyak tokoh-tokoh sejarah kaum perempuan, yang saya kenal dengan baik hanya ibu saya. Karena kasih sayang dan doa-doanya di sepanjang jalan hidup saya. Maka bagi saya, ucapan Selamat memperingati Hari Kartini diperuntukkan kepada semua perempuan Indonesia (yang berkebaya dan yang tidak berkebaya).
Wednesday, April 21st 2008.
Category: Features
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di www.sekampus.com
Label:
Keunggulan Perempuan
SPMB atau UMPTN?
Beredar polemik baru seputar sistem seleksi calon mahasiwa di Indonesia. Kini, ada 41 perguruan tinggi negeri yang keluar dari sistem SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Ada 2 model seleksi yang mungkin muncul. Ribuan calon mahasiswa, kini dilanda kebingungan.
Kisah tentang munculnya kembali istilah dan sistem Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), diawali dari terbitnya surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 30 Tahun 2008 tentang Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang salah satunya menyatakan bahwa uang hasil seleksi calon mahasiswa harus masuk ke kas negara sebagai Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selama sistem SPMB berjalan sebelum surat tersebut diterbitkan, pengelolaan uang hasil seleksi mahasiswa baru dilakukan oleh perhimpunan SPMB dan tidak masuk ke dalam kas negara. Perguruan Tinggi Negeri yang menjalankan SPMB pun dapat bagian dari dana ini. Cara seperti ini dinilai kurang aman dan kurang transparan, menurut Sugeng Martiyono, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta adalah satu dari 41 PTN yang tetap akan memilih untuk keluar dari perhimpunan SPMB, jika pengelolaan keuangan tersebut tidak kunjung transparan.
Sementara itu, Universitas Jambi (Unja) tetap memilih untuk terus melaksanakan SPMB. Alasannya, kepentingan calon mahasiswa lebih penting daripada urusan uang. Rektor Unja menilai, sistem SPMB lebih praktis dan para calon mahasiswa bisa memilih universitas favoritnya di seluruh Indonesia.
Apakah tahap penerimaan mahasiswa baru menjadi SPMB atau menjadi UMPTN, kembali dirundingkan oleh pihak Dirjen DIKTI di Bali. Dirjen Dikti, Fasli Jalal, Ph.D, dan para rektor yang mewakili berbagai universitas negeri di Indonesia, bersepakat untuk kembali menjalankan UMPTN. Keputusan ini diambil pada Rabu, 12 Maret 2008 lalu, di Bali. Ada 41 PTN yang menjalankan seleksi mahasiswa baru secara terpadu dan tidak lagi dikelola oleh perhimpunan SPMB.
Jumlah dari 41 PTN yang kembali ke UMPTN dibandingkan dengan 13 PTN yang terus menjalankan SPMB, sepertinya berat sebelah. Sudah jelas, akan muncul 2 model seleksi mahasiswa baru tahun 2008. Masalah ini cukup menggelisahkan para murid SMA yang kini duduk di kelas 3.
Di saat perguruan tinggi negeri masih berpolemik tentang uang hasil seleksi mahasiswa baru, ribuan calon mahasiswa justru dilanda bingung. Apapun model yang dipilih, pada umumnya para calon mahasiswa ini punya satu suara, yakni tidak dipersulit untuk masuk ke universitas negeri favoritnya.
Date of Published: Monday, February 26th 2008.
Category: Headline News
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipulbikasikan di www.sekampus.com
Kisah tentang munculnya kembali istilah dan sistem Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), diawali dari terbitnya surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 30 Tahun 2008 tentang Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang salah satunya menyatakan bahwa uang hasil seleksi calon mahasiswa harus masuk ke kas negara sebagai Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selama sistem SPMB berjalan sebelum surat tersebut diterbitkan, pengelolaan uang hasil seleksi mahasiswa baru dilakukan oleh perhimpunan SPMB dan tidak masuk ke dalam kas negara. Perguruan Tinggi Negeri yang menjalankan SPMB pun dapat bagian dari dana ini. Cara seperti ini dinilai kurang aman dan kurang transparan, menurut Sugeng Martiyono, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta adalah satu dari 41 PTN yang tetap akan memilih untuk keluar dari perhimpunan SPMB, jika pengelolaan keuangan tersebut tidak kunjung transparan.
Sementara itu, Universitas Jambi (Unja) tetap memilih untuk terus melaksanakan SPMB. Alasannya, kepentingan calon mahasiswa lebih penting daripada urusan uang. Rektor Unja menilai, sistem SPMB lebih praktis dan para calon mahasiswa bisa memilih universitas favoritnya di seluruh Indonesia.
Apakah tahap penerimaan mahasiswa baru menjadi SPMB atau menjadi UMPTN, kembali dirundingkan oleh pihak Dirjen DIKTI di Bali. Dirjen Dikti, Fasli Jalal, Ph.D, dan para rektor yang mewakili berbagai universitas negeri di Indonesia, bersepakat untuk kembali menjalankan UMPTN. Keputusan ini diambil pada Rabu, 12 Maret 2008 lalu, di Bali. Ada 41 PTN yang menjalankan seleksi mahasiswa baru secara terpadu dan tidak lagi dikelola oleh perhimpunan SPMB.
Jumlah dari 41 PTN yang kembali ke UMPTN dibandingkan dengan 13 PTN yang terus menjalankan SPMB, sepertinya berat sebelah. Sudah jelas, akan muncul 2 model seleksi mahasiswa baru tahun 2008. Masalah ini cukup menggelisahkan para murid SMA yang kini duduk di kelas 3.
Di saat perguruan tinggi negeri masih berpolemik tentang uang hasil seleksi mahasiswa baru, ribuan calon mahasiswa justru dilanda bingung. Apapun model yang dipilih, pada umumnya para calon mahasiswa ini punya satu suara, yakni tidak dipersulit untuk masuk ke universitas negeri favoritnya.
Date of Published: Monday, February 26th 2008.
Category: Headline News
Writer: Ayu N. Andini
Tulisan ini pertama kali dipulbikasikan di www.sekampus.com
Ayat-ayat Cinta: Film Religius?
Penontonnya membludak. Bioskop mendadak menyuguhkan fenomena anyar. Perempuan-perempuan remaja yang berjilbab dan bercadar sampai ke ibu-ibu pengajian, ikut nonton ramai-ramai. Ada apa dengan Ayat-ayat Cinta? Sewaktu masa kuliah dulu, saya gemar nonton film di bioskop. Tapi harus berulang kali kecewa karena satu sahabat saya selalu menolak ajakan ikut nonton di bioskop. Dia bilang, “Maaf, aku nunggu VCD nya aja. Nonton di rumah.”
Wuih.., dia harus menunggu beberapa bulan lagi setelah saya dan teman-teman lain sudah kenyang berdiskusi film baru itu. Belakangan, akhirnya teman saya yang selalu menolak ajakan nonton film rame-rame di bioskop itu bilang, “Aku bukannya enggak mau nonton di bioskop. Aku hanya merasa risih aja. Aku kan berjilbab. Aku belum siap menerima tatapan mata orang-orang yang bertanya-tanya nanti.”
Aih….akhirnya kami terpaksa memaklumi. Tanpa bermaksud mendiskriminasikan yang berbusana jilbab, waktu itu saya agak heran. Padahal film yang kami tonton adalah film-film komedi atau bahkan film action. Bukan (ehm…maaf..) film porno.
Minggu kemarin, adik saya yang bungsu baru pulang dari bioskop. “Wah…antri sampai 1 jam untuk dapat tiket nonton filmnya. Padahal sudah dua loket dibuka untuk 1 judul film ini. Yang nonton, juga banyak yang berjilbab,” ucapnya bersemangat. Maklum, dia salah satu anggota keluarga saya yang juga keranjingan nonton film di bioskop. Mungkin setelah berulang kali ia pergi nonton, malam itu ada sebuah fenomena baru yang dia lihat di gedung bioskop.
Setiawan Hanung Bramantyo, sang sutradara mengangkat film ini dari sebuah novel laris karya Habiburrahman El-Shirazy yang berjudul sama, Ayat-ayat Cinta. Penulis novelnya pernah menjalani masa kuliahnya di Kairo, lalu mencerap pengalaman budayanya dan menuangkannya dalam sebuah novel cinta romantis. Tema besarnya adalah poligami dalam Islam. Sebuah fenomena kehidupan pernikahan yang mampu menyita perhatian semua orang. Akhirnya, novelnya jadi sangat laris dan filmnya pun mampu menyerap penontonnya hingga membludak. Di sebuah bioskop mewah di daerah Bekasi yang punya 10 studio, mereka menyediakan dua loketnya khusus untuk film Ayat-ayat Cinta. Sampai ke Lampung, bioskop di pusat kotanya juga membuat penonton antri berjam-jam untuk dapatkan tiket nonton film yang satu ini.
Mengutip wawancaranya dengan sebuah media online, Hanung mengucap, “Saya menunggu ada produser yang ingin membuat film Islam. Tapi hingga film keenam saya, tidak ada satu pun produser yang berminat untuk membuat film Islam. Bahkan produser Islam pun tidak.” Ia menyatakan bahwa ia kerap ditolak organisasi Islam saat menawarkan ide ini. Karenanya ia salut kepada MD Pictures yang sudi mengadaptasi novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy, walau mereka non-Muslim.
Film ini dibintangi oleh Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carrisa Putri, Melanie Putria, dan Zaskia Adya Mecca. Sedangkan kru diperkuat oleh sinematografer Faozan Rizal, dan duet penulis skenario pasutri Salman Aristo-Ginatri S. Noer. “Saya mengajak Ginatri karena ada hal-hal dalam novelnya yang hanya dimengerti oleh wanita,” ucap Salman.
Walau tokoh Noura dan Aishah berbahasa Arab, namun di film ini, akan diadaptasi ke bahasa Indonesia. “Ya, seperti Memoirs of Geisha,” ungkap Aris. “Kami sudah membuat dialog berbahasa Arab, namun ditolak karena dianggap tidak komunikatif,” imbuh Gina.
Hanung Bramantyo “membungkus” film Ayat-ayat Cinta dalam label religius. Label religius ini memang cukup fenomenal. Ditengah serangan film horor dan komedi, Hanung jadi tampil beda. Dari daftar filmografinya, film ini jelas beda dengan film-filmnya yang lain. Sebut saja, Brownies (2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), Lentera Merah (2006) Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Kamulah Satu-Satunya (2007).
Kairo, Islam, dan perempuan berjilbab. Tiga penanda inilah yang membuat label religius menjadi dominan dalam tiap scene-nya. Namun ada beberapa logika cerita yang dibuat sangat terburu-buru. Konflik bathin Maria ketika ia memutuskan untuk memeluk agama Islam dan memasuki “dunia baru”nya, dibungkus terlalu ringkas. Setelah Maria memeluk Islam, salah satu adegannya menampilkan dengan jelas tanda salib di tangannya saat darah segar mengalir dari hidung Maria. Adegan ini membuat kronologis logika cerita yang dibangun menjadi remang-remang.
Label religius ini seperti legalisasi bagi beberapa adegan lainnya. Hanung nampaknya berniat membuat adegan romantis. Seperti saat Fahri sedang memadu kasih dengan mahramnya—Aisyah, di pelaminan. Adegan ini dibuat diperlambat durasinya, agar adegan “romantis”nya bisa dinikmati oleh penonton. Lainnya, ada pula adegan ketika Fahri dan Maria bercumbu di depan laptop. Hanung sepertinya hendak memberi “wawasan” kepada para penonton untuk ikut merasakan bahwa apapun yang sudah halal bagi kita, mau melakukannya dimana saja, tetap oke!
Bagaimanapun, film karya tangan dingin anak bangsa negeri ini mampu membuat seluruh kalangan penasaran dan berbondong-bondong ke bioskop. Laris manis…!
Date of Published: February 2008.
Writer: Ayu N. Andini
Category: Movie Review
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di www.sekampus.com
Wuih.., dia harus menunggu beberapa bulan lagi setelah saya dan teman-teman lain sudah kenyang berdiskusi film baru itu. Belakangan, akhirnya teman saya yang selalu menolak ajakan nonton film rame-rame di bioskop itu bilang, “Aku bukannya enggak mau nonton di bioskop. Aku hanya merasa risih aja. Aku kan berjilbab. Aku belum siap menerima tatapan mata orang-orang yang bertanya-tanya nanti.”
Aih….akhirnya kami terpaksa memaklumi. Tanpa bermaksud mendiskriminasikan yang berbusana jilbab, waktu itu saya agak heran. Padahal film yang kami tonton adalah film-film komedi atau bahkan film action. Bukan (ehm…maaf..) film porno.
Minggu kemarin, adik saya yang bungsu baru pulang dari bioskop. “Wah…antri sampai 1 jam untuk dapat tiket nonton filmnya. Padahal sudah dua loket dibuka untuk 1 judul film ini. Yang nonton, juga banyak yang berjilbab,” ucapnya bersemangat. Maklum, dia salah satu anggota keluarga saya yang juga keranjingan nonton film di bioskop. Mungkin setelah berulang kali ia pergi nonton, malam itu ada sebuah fenomena baru yang dia lihat di gedung bioskop.
Setiawan Hanung Bramantyo, sang sutradara mengangkat film ini dari sebuah novel laris karya Habiburrahman El-Shirazy yang berjudul sama, Ayat-ayat Cinta. Penulis novelnya pernah menjalani masa kuliahnya di Kairo, lalu mencerap pengalaman budayanya dan menuangkannya dalam sebuah novel cinta romantis. Tema besarnya adalah poligami dalam Islam. Sebuah fenomena kehidupan pernikahan yang mampu menyita perhatian semua orang. Akhirnya, novelnya jadi sangat laris dan filmnya pun mampu menyerap penontonnya hingga membludak. Di sebuah bioskop mewah di daerah Bekasi yang punya 10 studio, mereka menyediakan dua loketnya khusus untuk film Ayat-ayat Cinta. Sampai ke Lampung, bioskop di pusat kotanya juga membuat penonton antri berjam-jam untuk dapatkan tiket nonton film yang satu ini.
Mengutip wawancaranya dengan sebuah media online, Hanung mengucap, “Saya menunggu ada produser yang ingin membuat film Islam. Tapi hingga film keenam saya, tidak ada satu pun produser yang berminat untuk membuat film Islam. Bahkan produser Islam pun tidak.” Ia menyatakan bahwa ia kerap ditolak organisasi Islam saat menawarkan ide ini. Karenanya ia salut kepada MD Pictures yang sudi mengadaptasi novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy, walau mereka non-Muslim.
Film ini dibintangi oleh Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carrisa Putri, Melanie Putria, dan Zaskia Adya Mecca. Sedangkan kru diperkuat oleh sinematografer Faozan Rizal, dan duet penulis skenario pasutri Salman Aristo-Ginatri S. Noer. “Saya mengajak Ginatri karena ada hal-hal dalam novelnya yang hanya dimengerti oleh wanita,” ucap Salman.
Walau tokoh Noura dan Aishah berbahasa Arab, namun di film ini, akan diadaptasi ke bahasa Indonesia. “Ya, seperti Memoirs of Geisha,” ungkap Aris. “Kami sudah membuat dialog berbahasa Arab, namun ditolak karena dianggap tidak komunikatif,” imbuh Gina.
Hanung Bramantyo “membungkus” film Ayat-ayat Cinta dalam label religius. Label religius ini memang cukup fenomenal. Ditengah serangan film horor dan komedi, Hanung jadi tampil beda. Dari daftar filmografinya, film ini jelas beda dengan film-filmnya yang lain. Sebut saja, Brownies (2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), Lentera Merah (2006) Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Kamulah Satu-Satunya (2007).
Kairo, Islam, dan perempuan berjilbab. Tiga penanda inilah yang membuat label religius menjadi dominan dalam tiap scene-nya. Namun ada beberapa logika cerita yang dibuat sangat terburu-buru. Konflik bathin Maria ketika ia memutuskan untuk memeluk agama Islam dan memasuki “dunia baru”nya, dibungkus terlalu ringkas. Setelah Maria memeluk Islam, salah satu adegannya menampilkan dengan jelas tanda salib di tangannya saat darah segar mengalir dari hidung Maria. Adegan ini membuat kronologis logika cerita yang dibangun menjadi remang-remang.
Label religius ini seperti legalisasi bagi beberapa adegan lainnya. Hanung nampaknya berniat membuat adegan romantis. Seperti saat Fahri sedang memadu kasih dengan mahramnya—Aisyah, di pelaminan. Adegan ini dibuat diperlambat durasinya, agar adegan “romantis”nya bisa dinikmati oleh penonton. Lainnya, ada pula adegan ketika Fahri dan Maria bercumbu di depan laptop. Hanung sepertinya hendak memberi “wawasan” kepada para penonton untuk ikut merasakan bahwa apapun yang sudah halal bagi kita, mau melakukannya dimana saja, tetap oke!
Bagaimanapun, film karya tangan dingin anak bangsa negeri ini mampu membuat seluruh kalangan penasaran dan berbondong-bondong ke bioskop. Laris manis…!
Date of Published: February 2008.
Writer: Ayu N. Andini
Category: Movie Review
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di www.sekampus.com
Label:
Movie Review
Langganan:
Postingan (Atom)